Rabu, 02 November 2011

Topeng Berdarah.

              Dari stasiun, taksi membawaku menyusuri jalanan kota Edelweis. Kota tua yang tak pernah berubah semenjak kutinggalkan tiga tahun silam. Bangunan renta tak berpenghuni berderet di jantung kota. Menara tua masih berdiri tegak menantang angkasa. Puri-puri berselimut lumut di tepian garis pantai, lantang diterjang ombak, seakan menyimpan ratusan cerita. Pohon-pohon berumur abad, kuat berakar, dan uratnya menonjol meretakkan jalanan beraspal. Pekikan burung gagak yang menyeruak dari rimbunan bukit yang membiru, semakin menambah aroma mistis kota ini.


                Kusodorkan alamat di secarik kertas. Ia melengos, sedetik kemudian kembali menatap jalan. Mengangguk kecil tanda mengerti. Seraut wajahnya masih tak berubah semenjak perjumpaan pertama, dingin dan acuh. Sepanjang perjalan tiada percakapan di antara kami. Hanya suara deru kendaraan dan desau angin yang terdengar dari jendela setengah terbuka.
                Dari spion yang berada di atas kepalanya, sesekali kupergoki ia menatap tajam ke arahku. Entahlah, ada hawa aneh yang menelusup ke dadaku ketika tak sengaja bersitatap dengannya. Semacam getaran kebencian yang teraba. Jika kuperhatikan seksama, aku dan pemuda ini laiknya mirip dari segi rupa dan fisik. Berambut ikal, bermata coklat, alis runcing, dagu terbelah, dan berkulit gelap. Tinggi kami pun kuperkirakan nyaris sama. Yang membedakan, sebaris kumis yang melintang di atas bibirnya.
                Tiga puluh menit perjalanan. Kami sampai pada alamat yang dituju, rumah Paman Smith dan Bibi May, istrinya. Setelah kubayar besarnya tarif sewa, taksi itu berbalik haluan ke arah kota.
                 Gerbang terali besi setinggi pundak orang dewasa, terbuka lebar menyambutku. Angin dingin berhembus merayapi tengkukku, membuat jantungku kian berdegub. Bulu kudukku berdiri sekelebat menyaksikan pemandangan ini, suasana luar rumah yang begitu senyap. Taman sepintas tak terawat. Ilalang tumbuh tinggi menyaingi bunga melati. Sebagian tanaman hias mati tak tersirami. Tanaman liar menjalar membelit pagar.
                  Sesampai di depan rumah, kuketuk pintu. Tiga kali. Tetap tak ada suara. Kuraih gagang pintu dan mencoba membukanya, ternyata tak dikunci. Begitu aku masuk ruangan, udara pengap langsung membekap, membuat nafas sesak. Sesekali aku terbatuk. Kukibaskan tangan menghalau aroma tak sedap ini. Sudut ruangan terlihat gelap, hanya sedikit cahaya menembus pori-pori korden jendela yang telah usang. Debu-debu terserak, menebal di beberapa permukaan perabotan meja dan kursi. Laba-laba sembarangan membuat sarang di sana-sini. Lukisan abstrak yang tergores indah, terpancang menghias ruangan depan, sedikit condong ke kiri. Lima topeng kayu berupa ekspresi wajah, menggantung berjejer di ruang tengah. Kupanggil Paman Smith dan Bibi May. Berulang-ulang. Tetap tak ada jawaban. Tiba-tiba dari pintu depan, muncul sesosok gadis anggun bergaun merah. Ia menyambutku dengan senyum-yang sepertinya dipaksakan.
                  “Selamat datang Tuan Josh. Maaf menunggu. Perkenalkan, namaku Shera, pembantu baru di rumah ini. Paman Smith sedang keluar, Bibi May ada di kamar, tak enak badan katanya. Silakan menunggu di ruang tamu. Sebentar aku panggilkan.” Sekejap, gadis itu berlalu ke ruang belakang.
                Gadis itu bilang dia pembantu, tapi perabotan kotor dan taman tak terawat? Ah, siapa sebenarnya dia? Apa hubungannya dengan Paman Smith dan Bibi May? Saat sisi batin tengah bergolak, dari ruang belakang tempat Shera menghilang, muncul Bibi May dengan langkah tergetar. Tubuhnya terlihat renta, wajah tirus yang memucat. Dahinya semakin berlipat, sedang matanya menyorot sayu. Ia duduk, sesaat kemudian terbatuk. Seperti yang kulihat, keadaannya tak juga membaik, sakit-sakitan semenjak setahun yang lalu. Dalam obrolan, sempat kutanyakan tentang Shera, pembantu baru itu. Bibi May menjawab lugas, ia hanya berkata gadis itu baru seminggu berada di sini. Membantu dirinya mengurus rumah. Tak kurang, tak lebih.
                 Mengurus rumah? Aku seperti bisa mencium ketidak-beresan di sini. Pembicaraan terjeda, kemudian Bibi May menyuruhku pulang, seperti hendak mengusirku. Tak biasanya ia bersikap tak ramah seperti ini. Padahal selama ini, ia sering menawariku barang semalam menginap. Aku bersikeras, tak akan pulang sebelum bertemu Paman Smith. Hitungan menit, Bibi May pamit ke dalam, ingin beristirahat. Tak lama, Shera muncul dengan teh hangat di tangan.
“Paman Smith sepertinya pulang tiga hari lagi, Tuan Josh. Tadi ia menitip pesan kepadaku sebelum berangkat.”
                **
                Waktu beranjak sore. Satu jam menunggu, akhirnya kuputuskan mencari penginapan terdekat dan kembali lagi esok hari. Ketika sampai di jalan raya, tak sengaja mataku menangkap sesuatu yang terparkir di antara bangunan tua tak jauh dari rumah Paman Smith. Bukankah itu taksi siang tadi? Aku sembunyi, meraba situasi. Ketika kulihat Shera keluar rumah petang itu. Menuju ke taksi. Aku mengendap masuk ke rumah. Sepi, tak ada siapapun, kemana gerangan Bibi May? Melacak di dapur, kutemukan sebuah foto lamaku dan topeng karet tak berwajah tergeletak begitu saja di dekat cermin. Penasaran, topeng itu kukenakan. Ajaib, di depan cermin kusaksikan topeng itu bisa berubah-ubah menjadi wajah seseorang yang diinginkan. Aku mulai mengerti, tiga sosok yang kutemui tadi nyatanya hanya seorang. Dia! tak salah lagi.
                Kuperiksa kebun belakang. Kuperhatikan. Di tanah yang tak luas ini, terlihat ada beberapa bekas galian. Perlahan kudekati. Berjongkok, kusentuh permukaan tanah yang masih lembab, sedikit berbukit. Tak sengaja pandanganku bertumbukan sesuatu yang tak asing. Sebuah dompet tergeletak di semak. Ternyata, berisi tanda pengenal seseorang yang kucari tadi siang. Kucermati, ada beberapa bercak darah yang mengering di rimbunan dedaunan. Mungkinkah di tempat ini mayat Paman Smith dan Bibi May dikubur?
                Ketika kubalikan badan, tiba-tiba sebuah benda tajam terhunus di dadaku. Belati yang berlumuran darah. Mataku terbelakak, Shera-gadis anggun bergaun merah itu memegangnya dengan erat. Matanya nyalang. Tawa melengking dari bibirnya yang merekah. “Kau mau tahu, kenapa aku membunuh mereka?! Paman Smith bercerai dengan ibuku yang tengah hamil tua. Ia memilih menikah dengan Bibi May yang bergelimangan harta. Hingga ujung usianya, ibu sangat menderita. Bukankah, kematian mereka adalah pembalasan yang setimpal?!” Kembali ia tertawa. Membahana hingga terguncang bahunya. Penglihatanku mulai berkunang. Darah mengucur deras dari dadaku. “Sayang sekali Tuan Josh, hidupmu tamat di sini. Harta warisan ini memang seharusnya jatuh ke tanganku. Anak kandungnya. Bukan dirimu yang hanya jadi anak asuhnya!” Pandanganku sudah gelap, pendengaran pun menuli. Dua detik kemudian, kurasakan tubuhku berdebam terhempas ke tanah.
                **
                Gadis itu tertawa, terkadang berteriak meracau. Jeruji besi kini mengurung segala ambisinya. Shera tidak gila, hanya berpura-pura gila. Kejahatannya terbongkar. Dalam persidangan, diputuskan ia dikenai hukuman seumur hidup. Fakta pembunuhan terencana itu terendus polisi berkat adanya laporan dari seseorang.
Seminggu sejak ia ditahan, aku menjenguknya. Di ruangan khusus ini, kulihat wajahnya pasi dengan rambut tergerai masai. Bibir yang dulu merekah, kini pucat memutih. Ketika bersitatap denganku, bola matanya membelakak, menyiratkan rasa tak percaya.
“Bu..bu..kankah kau sudah mati?!?” ucapnya tergeragap.
                “Seperti yang kau lihat.” Aku mengangkat bahu, bersikap kalem. Senyuman dingin kulempar kepadanya.
                “Cuih, pantas saja polisi hanya menyebut dua mayat yang ditemukan.”
                Shera membuang muka, lantas tertawa melengking, membuat beberapa pasang mata tertoleh ke arahnya.
                “Bagaimana kau bisa hidup lagi, Tuan Josh?” Matanya mendelik tajam ke arahku. Laksana belati yang ingin menikamku untuk kedua kalinya.
                “Kau kehilangan topengmu, bukan?” Aku tertawa mengejek.
                “Cepat katakan, di mana topeng itu?!!” Ia mengeram, hendak menerkam. Dua petugas sigap menangkap bahunya, menenangkan, dan bersiap memasukkannya ke jeruji. “Biarkan,” sergahku.
                Sejenak keheningan menguasai suasana. Ia masih menatapku setajam belati, penuh benci.
                Aku mulai bercerita. “Kau memang berhasil menancapkan belati itu ke dadaku. Sayangnya, ada yang tak pernah kau tahu. Setelah kau pergi,  topeng itu terbelah dan mengeluarkan darah, sedang diriku seperti yang kau lihat. Darah dari dadaku hanyalah ilusi yang diciptakan topeng itu. Sebenarnya, kau telah membunuh topengmu sendiri.” Kuberi penekanan kata pada kalimat terakhir ini.
                “Tidaaaak!!!! Aku akan membalasnya! Aku akan membunuhmu lagi!!” Ia berteriak histeris. Berontak, hendak melompat mencekikku.
                Kali ini petugas tanpa ampun mencengkeram dan memaksa gadis ini masuk ke jeruji. “Lepaskan!! Biarkan aku membunuh orang itu!” Teriakan marahnya lalu disusul sumpah serapah. Suaranya menggema, memantul di dinding penjara yang acuh. Kuhembuskan nafas panjang lalu kukeluarkan topeng itu dari saku. Masih utuh. Sebenarnya, aku telah berbohong kepada Shera. Jadi, siapa yang sebenarnya terbunuh malam itu?
                **
                Tak ada! Sudah kukatakan semua hanya ilusi belaka dari topeng ini. Pemuda sopir taksi, Bibi May, dan wajah-wajah di cermin itu.
                Shera sebenarnya semeter berdiri di depanku. Ia menghunus belati di udara, tertawa sendiri. Kata-kata yang meluncur dari bibirnya membuat semuanya jelas. Lalu ia melarikan diri ke rumah.
 Aku terhenyak. Topeng itu kulepas dan kulemparkan ke tanah. Nafasku tersengal. Ilusi ini sungguh seperti nyata. Aku bangkit. Segera, kuhubungi polisi. Melaporkan kejahatan terencana ini beserta barang bukti.

                -pondok delima, o2112o11 21:28


*cerpen ini dikut lombakan dalam ulang tahun pertama leutika prio

Tidak ada komentar:

Posting Komentar