1 Sep 11, H + 2
Seusai kepulanganku dari Cirebon, aku berniat bergegas tancap ke Malang. Namun, melihat keadaan diri yang masih kelelahan, nampaknya perjalanan harus ditunda beberapa hari lagi. Ikah, yang sebelumnya aku culik, pun tak keberatan bila kuajak serta dalam misi berikutnya ini.
Dua hari semenjak kepulanganku, aku meminta ijin Ibu. Seperti tahu kondisiku, beliau tetap tak mengijinkan aku keluar jauh. Tunggulah barang sejenak, beberapa hari lagi, begitu ucapnya. Usai lebaran mungkin aku akan diijinkan.
Lebaran sudah datang, begitu cepat hari-hari dilalui. Rasanya sudah tak sabar berpetualang lagi setelah hari-hari diisi dengan berdiam diri di rumah. Kuminta ijin Ibu, memohon, beliau awalnya tetap menolak, aku tak patah arang. Meyakinkan bahwa perjalanan ini sangatlah mudah, seperti perjalanan-perjalanan sebelumnya ke Sukabumi, Wonosobo, dan Cirebon. H+1 akhirnya disepakati sudah. Beliau melepaskanku meski dengan banyak rasa khawatir di dadanya.
Kuhubungi Ikah, meminta kesediaannya andil dalam perjalanan ini. Jawaban dari seberang telepon nyatalah membuyarkan harapanku. Ia tak bisa ikut. Bukan lantaran kecewa karena perjalanan kemarin, tetapi ia ada urusan mengantar kakaknya silaturahim ke Wonogiri. Aku harus mencari pengganti.
Catatan belum usai. Tak ada ia, adiknya pun jadi. Aku segera melobi adiknya Ikah yang bernama Ikah juga. Kalau kalian masih ingat kisah tentang tiga lembar uang seribuan kan. Nah, Boi itulah orangnya. Ia meminta waktu sebentar sebelum memutuskan.
Di rumah, Ibu terus menanyakan persiapanku ke Malang. Dengan siapa? Kujawab dengan Boi misalkan dia mau. Kalau tidak? Akankah perjalanan ini dibatalkan? Aku tak berani menjawab. Entahlah, mungkin ya bisa jadi tidak. Terbayang, jika gagal maka aku adalah orang yang ingkar.
Pagi, sebelum segala sesuatunya diputuskan, kuhubungi Boi; harapan satu-satunya teman seperjalanan ini. Dari nada bicaranya di telepon, telah kuketahui sudah ia tak bisa ikut meski pun belum sekata pun menyinggung tentang perihal ini. Sendiri, harus kujalani. Keputusanku sudah bulat.
Pamit kepada Ibu. Dengan jujur kukatakan perjalanan ini akan ditempuh sendiri. Tentu akan menambah berat kekhawatiran. Dengan berbekal doa dan keiklasan, kumulai catatan baru Klaten menuju Malang.
Siapa yang menyangsikan bahwa aku adalah penduduk Klaten asli? Jika ada yang tak percaya, lihat saja KTP-nya :) Tapi pengetahuan tentang seluk beluk perkotaan, aku masih minim. Terbukti dari seringnya salah mengambil jalur, malahan memutar sampai beberapa kilo. Apalagi nama jalan dan letak instansi-instansi penting, nihil. Justru aku malah hafal urat-nadi di kota perantauan ini, Cirebon.
Perjalanan melaju ke timur menuju Solo. Persoalan baru muncul. Sesampai di Jl. Brigjen Slamet Riyadi, jalan utama di kota ini, aku kebingungan mencari jalan. Kebanyakan plang di sisi kiri menunjuk ke arah Surabaya dan Purwodadi. Benarkah jalur itu yang harus ditempuh? Kubaca ingatan di peta, ya, ternyata aku harus menuju jalur Surabaya dulu untuk sampai ke Malang..
Entah karena keterbatasan petunjuk atau apalah, aku kesasar lagi sampai terminal Tirtonadi. Di daerah ini semua plang menunjuk ke tempat tertentu, bukan arah kota besar--Surabaya. Akan ikut bus pun ada rasa ragu-ragu, takut memutar lebih jauh lagi. Akhirnya, dengan menatap matahari pagi yang memancar di timur, kutuju ke sana.
Meski sedikit berputar-putar mencari ruas jalan besar, Mojosongo ternyata arah yang kutuju. Setelah pulang dari mudik, barulah kuketahui bahwa jalur ini memutar dua kali lebih jauh bila dibanding melewati Palur. Tak apalah, terpenting kota Solo yang ribet jalur jalannya ini telah terlewati. Kawanku yang beberapa tahun kuliah di sini pun berujar, memang kota Solo itu membingungkan jalannya.
Ke timur, sekarang melintasi Sragen. Situasi mudik seperti ini, banyak jalur lewat kota dialihkan mengitari pinggiran. Menghindari kemacetan tentunya, meski memutar. Hampir selama satu jam akhirnya aku sampai di perbatasan Jateng-Jatim. Nganjuk, wilayah yang sangat luas terbentang hutan.
Tak disangka, daerah ini lumayan sepi. Sepanjang jalan hanya ditemui deretan pohon jati dan akasia. Perkampungan jarang dijumpai. Di beberapa tempat disediakan posko mudik. Ada hal yang unik menurut pandanganku--orang yang baru sekali melintas ke sini. Di jalan, akan ditemui beberapa pedagang menjual hewan peliharaan yang tak lazim. Bedes, atau orang sering menyebutnya kera.
Kera-kera tadi dikurung dalam sangkar kawat seukuran kardus mie. Tingginya kera tiga puluhan senti, berbulu abu-abu, dan berekor panjang. Sepertinya kera-kera yang sering digunakan dalam pertunjukan topeng monyet. Para pedagang mungkin mendapatkannya dari pemburu di sekitar hutan jati dan akasia ini.
Melesat, yang menjadi kekhawatiran melintas daerah ini adalah minim SPBU. Tentu karena areal yang jauh dari keramaian. Sebelum benar-benar kehabisan bahan bakar, aku rela mengantri sekitar dua puluh menit di sebuah SPBU.
Perjalanan lanjut ke Caruban, Madiun. Di sebuah pertigaan, kubelokkan kendaraan ke arah kanan. Seratus meter kemudian mendadak ragu. Kuambil peta pemberian Dora (ah, tidak, hanya bercanda). Kupelototi. Hey, ternyata aku salah jalur lagi. Syukurlah, tak jauh. Sampai di sini aku telah keliru dua kali.
Dari Caruban ada beberapa jalur untuk bisa sampai di Malang. Pertama ke arah utara, melintasi Jombang, Mojokerto, barulah berbelok lagi ke selatan. Jalanan besar dan ramai, tetapi agak memutar jauh. Kedua, setelah sampai di Kediri, lurus terus ke selatan. Nanti tembusan Tulung Agung barulah menuju ke timur melewati Blitar. Embong—begitu masyarakat jatim menyebut jalan—cukup besar dan lancar. Ketiga dan terakhir, melewati dataran tinggi Batu. Ke timur dari kota Kediri. Aku memilih jalur ini untuk sampai ke Malang. Tentulah pengharapan ingin melihat seperti apa medan dan juga pohon apel di Batu.
Sampai di kota Kediri, keadaan membingungkan lagi. Tak ada plang hijau penanda jalan. Tersesat lagi, aku salah ambil jalur ke Tulung Agung. Melewati jembatan panjang yang menjulang di atas sungai besar. Sejenak berhenti, memperhatikan peta lagi. Seorang bapak setengah baya menghampiri dengan motornya. Dia kebingungan menentukan arah. Katanya ia berasal dari—seingatku—Gresik. Ia ingin mengunjungi menantunya di Tulung Agung. Beruntung, ia tak salah arah. Kujelaskan padanya sembari menunjuk peta. Kumantapkan pilihannya dan sekali lagi aku yang kesasar. Bapak tadi melanjutkan perjalanan dan aku harus memutar lumayan jauh.
Sebuah bangunan seperti kubus raksasa menjulang tinggi dengan gagah di persimpangan lima di Kediri. Sekitarnya ada taman kecil dan dilingkari jalan yang teramat lebar. Beberapa kendaraan merapat dan berdiam diri di sana. Rupanya, sedang berekreasi. Beberapa pemudi berpose mengabadikan momen ini. Andai saja aku membawa kamera digital, tentulah fotonya akan bisa kalian lihat di catatan ini :)
Melewati jalur alternative Pare, sejenak aku berhenti melepas lelah. Oh, tidak. Mukaku ternyata sangat kusut. Kerutan kelelahan tampak menggaris. Juga bola mata yang memerah karena iritasi debu dan asap kendaraan. Jaketku pun terlihat lusuh dan kotor. Cukup lama aku terhenti di sini. Mencuci muka. Dan kabar buruknya, tubuhku mulai gejala flu.
Mas Sapee--kawanku yang dulu rekan kerja dan akan kuinapi menanyakan keberadaanku. Perkiraan dari Pare sekitar dua jam lagi, katanya. Menghibur. Malang telah dekat. Mbak Dew yang tak kukabari tentang keberangkatan ini rupanya sudah tahu dari status yang kushare di fb. Ia mengirim pesan, menanyakan juga. Telah dekat lagi. Sepertinya janji kecil ini akan terlunasi keesokan harinya.
Jalur alternative kutempuh untuk sampai Batu. Sialnya, tak terdeteksi dalam peta. Aku kesasar sampai masuk jalan kampung, berputar balik, kesasar lagi. Entah berapa kali hingga kutemukan jalan besar.
Untuk menghindari kesalahan lagi, aku menguntit sebuah motor berplat N yang menunjuk domisili Malang. Mengikuti terus di belakang. Meski sedikit tertinggal karena kurangnya penguasaan medan, beruntung aku tak kehilangan jejaknya.
Sampailah di jalan menanjak, menunjukkan sudah memasuki kawasan perbukitan. Pemandangan daerah ini sangatlah menakjubkan. Jalanan mengikuti aliran sungai yang beriak berbuih keputihan karena dangkalnya. Dari jauh pepohonan tampak membiru. Udara terasa sejuk mengisi paru-paru. Menyenangkan sekali melintas kawasan ini seolah kelelahan terhapus sekali waktu.
Sesampai di daerah Ngantang, aku terpukau. Lihatlah, sebuah cekungan raksasa menampilkan pesona keindahannya; Waduk Selorejo. Waduk yang dikelilingi gunung Kelud, Anjasmoro, dan Kawi ini berada di ketinggian 600 mdpl. Di sepanjang jalannya berbuka warung makan dengan menghadap ke arahnya. Waduk yang utamanya digunakan untuk irigasi ini, juga dibuka untuk rekreasi. Sayang, aku tak sempat sejenak berhenti di sini. Perjalanan masih panjang dan aku merindukannya T.T
Pernahkah kalian ke Batu? Membayangkannya? Daerah ini sangat sangatlah eloknya. Teduh, sejuk, dan nyaman. Aha, aku terlalu takjub. Beberapa rombongan pemudik terlihat bersantai di tepian jalan. Menikmati panorama ini. Namun, sepanjang perjalanan kenapa tak jua kutemukan pohon apel yang termashur itu ya? Dimana..dimana..oh dimana.. Kemana..kemana..harus kucari.. Rupanya ada kawasan sendiri tempat membudidayakannya. Mengenai apel-apel ini, adakah arek Malang yang mau menjelaskannya? :)
Jalanan di daerah Batu ini macet. Tujuan kepentingan antara mudik dan rekreasi menjadi penyebabnya. Berkilo-kilo jauhnya, terpaksa aku melambatkan laju. Menyusup diantara kendaraan besar. Akhirnya, sekitar setengah jam kemudian aku tiba di kota Malang. Horee.. :D
Mulanya, kuanggap kota ini mudah ditaklukkan, dalam artian aku mengetahui jalur ke rumah Mas Sapee. Melintasi UMM, IAIN, lalu Brawijaya cukuplah menyenangkan. Setelah hampir satu jam lamanya, kenapa juga tak ada tanda-tanda bisa keluar dari kota ini menuju Bululawang. Kesombongan menyesatkan akalku. Aku menyerah setelah waktu mendekati petang. Kukabari Mas Sapee. Ikutilah angkot menuju terminal Gadang, begitu petunjuknya. Aku masih bingung, maka ketika kujumpai seorang pejalan kaki. Kutanyakan kepentinganku, ia mengatakan tanpa beban dan bersalah. Ia membohongiku, membuat aku berputar lagi di jalan yang sama. Ah, siapa suruh percaya pada orang yang baru dikenal. Atau barangkali penjelasankulah yang kurang jelas, meracau.
Tubuhku lelah, pikiranku terlebih lagi. Kota besar seperti Malang sama juga seperti Solo. Jalannya menyesatkan pendatang. Terlalu. Ditengah keputusasaan, aku berhenti di sekat perempatan. Mendinginkan pikir. Di sana di sebuah rumah kecil, seorang suami istri semoga bisa membantuku keluar dari kota ini.
Cukup jelas apa yang disampaikan pasangan suami tadi. Bululawang masihlah teramat jauh menurut jangkauannya. Tetapi, akan gampang bila menuju terminal Gadang dulu. Nanti Mas belok kanan dan lurus terus. Akan ditemui petunjuk lagi, begitu terangnya. Olehnya, aku banyak mengucap terima kasih.
Akhirnya, kutemukan juga terminal ini. Kukabari lagi Mas Sapee. Dari sini rupanya Bululawang, rumah kawanku ini sangatlah dekat. Sekitar lima belas menit sampai. Kubuka alamat yang dismskan kepadaku. Mencarinya, hingga ia mengabari memintaku menunggu di depan SPBU An-Nur saja. Seperti hafal akan ciri fisikku, ia dengan mudah meneleponku ketika tak sengaja aku melintas di hadapannya. Kami bertemu setelah tiga tahun berpisah. Malang, aku telah datang!
**
Semoga, kalian tak berkunang-kunang membaca tulisan ini :P Catatan yang masih akan berlanjut dengan kepulanganku dari kota ini melewati Mojokerto-Jombang. Insyaallah kita berjumpa lagi di catatan perjalanan yang ke 6. Melelahkan.
Salam pena!
*pondok delima, 181o2o11 19:23