Sabtu, 24 September 2011

Intermezzo : Berandal!

               Setahun yang lalu kisah ini bermula..
                Berandal, namanya. Sesosok kucing kecil berbulu kuning yang ditinggal pergi induknya semenjak masih bayi. Hari-harinya sendiri. Hidupnya dijalani dengan ketakutan dan keterasingan. Baginya, dunia luar tak ubahnya seperti anjing-anjing pemangsa yang selalu mengintai lalu bersiap melumat hidupnya. Masa kecil yang harusnya dijalani bersama bimbingan dan kasih sayang induknya. Kini, harapan itu tak pernah ada, bahkan dalam mimpinya sekalipun. Berandal kecil yang merana. Tak seorangpun yang memperhatikannya.
                Bruno, namanya. Entah darimana ia datang. Pastinya, seseorang telah mengadopsinya dari induknya. Masa kecil yang indah. Hari-harinya dilalui dengan sukacita. Setiap pagi, ketika dia bangun menggeliat, sepiring susu tersedia menghangatkan harinya. Makanan serta lauk bergizi, memenuhi kebutuhan perutnya. Rumah teduh yang lapang, melindunginya dari sengatan panas dan tempias hujan. Dia pun tak kekurangan perhatian dan kasih sayang dari tuannya. Ah, hidup benar-benar berjalan sebagaimana harap. Anjing kecil legam itu tak pernah menangis. Sungguh nasib baik meski terpisah jauh dengan induknya.
                Berandal, namanya. Nasibnya kian buruk. Apa yang akan dilakukannya untuk bertahan hidup? Induknya tak pernah sekalipun mengajarinya bagaimana melepaskan lapar di perutnya. Langit tak menurunkan hujan. Tak ada ladang yang menumbuhkan buah-buahan. Dia hanya bisa meratapi takdirnya. Setiap siang hanya meringkuk di persembunyian. Takut-takut kalau ketahuan. Malamnya, jikalau terpaksa, dia harus mengendap. Menyelinap di antara barang-barang. Mengais di tong pembuangan. Kalau beruntung, ia akan menemukan sisa-sisa nasi tadi sore. Mencuri makanan? Bahkan jiwanya terlalu putih untuk berbuat itu. Perjuangan hidup yang tak mudah melawan takdirnya sendiri.
                Bruno, namanya. Anjing kecil yang beruntung. Hidupnya berada dalam satu kotak yang dipenuhi kesempurnaan. Tempat yang layak. Makanan yang tersedia. Dan tentu, tuan yang baik. Tak pernah sekalipun dia harus bersedih hati. Tak perlu ia mempertanyakan masa lalunya, tentang takdir kenapa ia harus berpisah dari induknya? Sungguh, tak penting lagi itu semua. Janji masa depan yang lebih baik telah menunggunya.
                Berandal, namanya. Kucing kecil yang tubuhnya semakin kurus. Bulu-bulunya pun terlihat kasar karena tak terurus. Ia hidup berdampingan dengan alam. Bertahan dalam semua keadaan. Meski ketakutan selalu membayanginya. Keterasingan menemani sepinya. Juga janji masa depan yang suram. Berandal kecil tetap bertahan. Hidup adalah perjuangan. Ia tak ingin terhenti pada satu titik. Meski langit tak jua meneteskan hujan. Untuk sekedar menangisi nasib malangnya.
                Bruno, namanya. Anjing kecil yang bahagia. Sigap meloncat-loncat. Tubuhnya berkembang dengan pesat. Otot bahunya bertumbuh kuat. Bulu hitam legamnya mengkilat. Juga taring dan cakar yang membuat makluk sungkan mengusiknya. Ia tumbuh bersama kesetian kepada tuannya. Kasih sayang yang ditanamkan kepadanya. Baginya, itu adalah balas budi tak tergantikan. Bruno kecil yang berjanji, sampai mati. Hidupnya adalah mengabdi.
                Dan waktu mempertemukan keduanya dalam sebuah kehidupan..
                Aw, itu nama penaku. Aku mengenal keduanya dalam sebuah pertemuan biasa, di hari biasa. Tak sengaja aku melihat kucing kecil itu berlari-lari ketakutan. Bersembunyi di balik lorong gelap. Meringkuk. Bulu kuduknya berdiri.  Mukanya pias, memucat. Matanya tajam mengawasi sekitar. Penuh selidik. Curiga ia memperhatikan langkah-langkah kakiku yang mendekat. Dicengkeramnya tanah. Kucing kecil itu semakin gelisah. Dadanya bergemuruh.dalam hitungan sepersekian detik, iIa berlari tak tentu arah, menjauh pergi. Lalu, menghilang di balik semak. Meninggalkan sebuah gumam di kepala. Hey, padahal aku hanya ingin membelainya. Itu saja.
                Aw, itu nama penaku. Di pagi yang entah ke berapa, sekilas terdengar salakan yang mirip raungan tangis. Dari sebuah tempat yang tak tersembunyi, dari sebuah jalan yang biasa aku lewati. Seekor anjing hitam kecil mungil yang mengharap kasih. Ia mendekatiku. Matanya bening. Ekornya bergoyang. Mukanya polos, tak mengerti. Tapi tak ada gurat ketakutan tersirat. Ia menyalak, maju ingin mengendus kedua kakiku yang berjarak sehasta. Tapi, terali bambu itu menghalanginya. Sayang, sungguh sayang. Tak berani aku menyentuhnya, apalagi membelainya. Kiranya, seorang temanlah yang membawa dan ingin memeliharanya di sini. Aku menatap langit, masih biru.
                Aw, itu namaku penaku. Di sore entah ke berapa, aku melihat kembali kucing kecil itu. Masih dengan larinya yang penuh ketakutan, lalu sigap bersembunyi di balik sedikit gelapnya lorong. Matanya yang cemerlang masih sama curiganya. Dipenuhi kecemasan, pun ketika aku mencoba menghampirinya. Menawarkan  sepotongan makanan. Ia berlari, menjauh pergi. Masih tak peduli. Aku menatap tembok. Tempat di mana pandang menghilang.
                Aw, itu nama penaku. Di hari entah kesekian. Tak terdengar lagi salakan yang mirip raungan tangis itu. Anjing mungil itu terlihat bersahabat kala aku mendekat. Pun sepotong makanan yang kujatuhkan dekat dengannya, dilahapnya dengan nyaman. Ekornya bergoyang. Mukanya menatap harap ke arahku. Lidahnya terjulur cerah. Ia seakan merasa, seolah-olah akulah sosok yang telah lama hadir di kehidupannya. Yang berharap aku menjadi tuan keduanya. Anjing kecil yang menyalak riang, sepergi hari itu. Cerah tanpa awan.
                Aw, itu nama penaku. Akan kuceritakan bergulirnya waktu. Saat lambat laun daun bertumbuh. Musim berganti. Dan hujan turun dengan basahnya. Kiranya, langit benar-benar menangisinya. Entah, mungkin nasib kucing yang telah beranjak remaja itu akan berubah baik, tapi tidak. Sama sekali tidak. Ketakutan dan keterasingan masih akrab dengan harinya. Hidupnya dipenuhi dengan kecemasan. Emosi dalam jiwanya tak membaik. Tak ada lagi yang bisa dipercaya, bahkan juga manusia seperti aku.
                Aw, itu nama penaku. Angin silir berhembus dan air tetap mengalir. Langit masih biru dan daun tetap hijau. Serupa cahaya, semakin kilau nasibnya. Anjing kecil itu juga beranjak remaja. Dulunya, ia berpagar dalam segala aktifitasnya. Terbatas dalam sebuah kotak.  Kini ia terbebas di alam lepas. Tuannya, memberi kehendak untuk kemana saja, berbuat apa saja. Dunia ternyata lebih indah dari bayangannya. Ia berlari-lari ke sana-kemari. Meluapkan emosi kegirangannya. Sungguh, hidup tak pernah sebahagia ini. Anjing yang dulunya kecil itu semakin percaya diri menatap janji-janji yang sebagian telah didapati.
                Aw, itu nama penaku. Hari berganti, minggu berlalu. Mereka dipertemukan dalam sebuah kesempatan. Tatapan pertama ketika jumpa. Oh, rupanya takdir tak jua mudah kumengerti. Meski keduanya tak pernah dididik induknya seperti apa memburu dan diburu. Insting itu telah bericara. Mengambil alih jiwa mereka. Berandal tahu ia dalam bahaya, ketika Bruno bersemangat mengejarnya. Langit kali ini menaruh pihak pada Berandal. Ia berhasil melecuti diri. Melarikan separuh nafasnya yang tersengal. Juga melarikan pilihan hidupnya yang kian kumal. Bruno, entahlah apa yang dipikirkan saat itu. Merasa bangga dengan apa-apa yang melekat padanya. Dirinya memang hebat, jagoan. Memang, hukum rimba masih berlaku dalam dunianya. Siapa yang kuat bakalan menang. Sesudahnya..
                Dan setiap perjumpaan pasti akan ada perpisahan..
                Aw, itu nama penaku. Terik tanpa angin. Rumput pun mulai mengering. Berandal menghilang, tanpa kejelasan kabarnya.  Bruno sirna, tanpa tahu jejaknya. Keduanya menghilang tanpa sebab atau alasan. Begitu saja. Terjadi. Begitu cepat, hingga aku tak menyadari betapa cepatnya waktu telah memisahkan. Seperti kematian yang sangat-sangat gelap datangnya.
                Entah, apa yang sedang dikehendaki oleh takdir. Kisah malang Berandal akan diangkat ke permukaan lagi, sedang kisah cemerlang Bruno tenggelam sudah sudah tertinggal masa..
                Berandal, namanya. Ia tumbuh dewasa sejak aku menjumpa dengannya beberapa bulan lalu. Dulu, yang kukira dia pejantan, ternyata betina. Tubuhnya masih sama seperti yang dulu, kurus. Begitu juga bulunya yang kasar tak terurus. Namun, kali ini ia hadir dengan seekor kucing yang mirip dengan masa lalunya, anaknya. Tapi, Berandal tak pernah meninggalkannya. Dia tahu, bagaimana rasanya kesendirian, ketakutan, dan juga keterasingan dalam dunia. Sakit dan menyedihkan. Ia memahami, bahwa berdamai dengan masa lalu adalah sebuah pilihan.
                Begitu juga yang dialaminya saat ini. Untuk kedua kalinya ia harus mencecap kepahitan itu..
                Berandal, namanya. Di malam yang entah ke berapa datangnya. Malam yang menjadi tanda kepedihan tak terelakkan. Berandal tersudut di kamarku. Matanya nyalang, penuh kebencian. Anaknya berlindung ketakutan di balik tubuhnya yang gemetar. Bulunya berdiri, cakarnya sudah menanti. Mengoyak tangan-tangan kuat yang siap menyekap. Berandal yang biasanya penurut, menjadi berontak. Tangan yang satu berhasil menenangkannya, sedang yang lain ganas mengincar anaknya. Berandal terlambat menyadari, tak ada lagi celah melarikan diri. Tubuhnya menegang, berusaha lepas dari cengkeraman. Melihat anaknya tak berdaya dimasukkan ke karung pesakitan. Inilah saat berpisah. Takdir harus mengucapkan selamat tinggal. Oh, rupanya belum. Berandal lepas dari genggaman. Mengamuk. Cakar-cakarnya dihujamkan ke tangan-tangan penggenggam karung. Terluka. Namun manusia lebih pintar adanya. Berandal tak berdaya ketika melihat anaknya dibawa. Dan tangan itu, adalah tanganku dan temanku.
                Aw, nama penaku. Bagaimana rasanya menjadi seorang pengkhianat? Menyedihkan. Bahkan aku tak kuasa memandang Berandal yang frustasi. Ia berdiam diri ketika kupanggil. Acuh ketika ingin kubelai. Aku merasa sangat bersalah. Berandal yang semasa kecil dulu kehilangan induknya, kini setelah dewasa berpisah dengan anaknya. Uh, menyesakkan menyaksikannya terluka tanpa daya. Danmalam itu pun aku harus berjanji, untuk menebus kesalahan ini, aku harus merawat Berandal dengan layak.
                Berandal, namanya. Langit rupanya sedikit berbaik hati. Maka malam itu, teman memintaku membawa juga Berandal untuk dipelihara. Berandal yang sedang terluka, pasrah saja ketika tanganku membawanya pergi menemui anaknya lagi. Ia tak mengerti, sampai mana cerita ini akan terhenti. Namun, rupanya aku tak bisa menerka apa yang disiasati Berandal saat itu. Matanya tajam mengkilat menatap sekitar. Merekam semua kejadian malam di bawah temaram lampu jalan. Dan pada titik pemberhentian, bertemu anaknya, ia coba memanjati tembok angkuh perumahan. Sia-sia. Malam itu ia harus menginap di rumah temanku. Menunggu pagi.
                Aw, nama penaku. Pagi-pagi aku tak kuasa ingin mendapat kabar Berandal dan anaknya. Baik-baik sajakah di sana. Tapi rupanya teman mengabarkan hal berbeda. Berandal melarikan diri, bersama anaknya juga kebebasannya. Tak tahu menuju kemana. Hilang sudah semuanya, cerita ini harus ditutup seperti halnya Bruno.
                Itulah, Kawan. Sedikit perjalanan tentang seekor kucing peliharaanku yang sudah kuceritakan kepadamu. Tentang nasibnya yang terlunta, diombang-ambing oleh takdir. Namun, meski aku mengkhianati dengan membuangnya ke seorang kawan. Ia masih saja setia, tak peduli perlakuan malam itu. Buktinya, sehari setelah melarikan diri dari rumah kawanku. Ia kembali ke kostku, Kawan. Sekilo jauhnya! Tentu ukuran dalam dunia kucing akan berlipat jadinya. Ia datang dengan kaki pincang. Bukan untuk membalas dendam pengkhianatan dengan kemarahan. Ia yang masih seperti dulu, mendekat dan bergelayut manja di kakiku. Apa yang kubilang, hatinya terlalu putih untuk melakukan itu.
                Berandal, namanya. Jika makluk yang katanya tak berakal itu, masih bisa memaafkan. Kenapa aku tak belum bisa memaafkan masa lalu juga takdirku?

                *didedikasikan untuk kucing liar yang ngekost di belakang kostku
                **menyapa kawan-kawan di pondok, “Hai, apa kabar?”

                -pondokdelima, 240911-