Jumat, 11 November 2011

Si Mulut Api

               Aku merasakan ada yang aneh sewaktu bangun pagi hari ini. Kepalaku sedikit ngilu dan suhu sekitar dadaku meninggi, seolah ada bara yang tertanam di dalamnya. Ketika menguap, tiba-tiba dari mulutku tersembur kobaran api--seperti yang sering kusaksikan dalam pertunjukan sirkus di televisi. Mataku membelalak, wajah seketika  memucat, dan rahang mengatup rapat. Kugenggam seprei dengan gemetar. Keringat menderas di kening dan badan menggigil saking takutnya. Apakah ini cuma mimpi belaka? Perlahan kutepuk-tepuk pipiku. Sedikit lebih keras, kutampar pipiku sekali, owgh, aku meringis menahan sakit. Tidak, ini bukanlah mimpi. Aku mulai panik. Berjingkat dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi, mencuci muka.
             
               Emosiku sedikit terkontrol sewaktu air dingin membasuh wajah. Kuhirup udara dalam-dalam dengan mata terpejam, dan menghembuskan perlahan. Menenangkan diri. Ah, mungkin ini hanya halusinasi saja, setelah semalaman aku menonton film horor di televisi.

Senin, 07 November 2011

Keberuntungan Si Joe

Angkot yang kami tumpangi menyisakan sedikit ruang. Anak-anak berseragam putih abu bergelantungan di pintu. Tertawa-tawa, menantang bahaya. Rambut mereka meriap-riap tertiup angin pagi. Di bangku depan sebelah sopir, sesosok pemuda gondrong bertampang kucel, terlihat asyik menikmati sebatang rokok. Asap yang dihembus dari mulutnya menyebar ke segala penjuru. Terdengar suara batuk dari penumpang di belakangnya. Tak peduli, berkali-kali ia menghisap dan menghembuskannya. 

Di pojok belakang, seorang wanita setengah baya membekap mulutnya dengan tangan. Cuaca gerah, aroma keringat, juga asap rokok seakan menyiksa pernafasannya. Wajahnya tampak begitu rusuh. Keningnya berkerut-kerut, menahan kekesalan. Di sebelah kiriku, seorang mahasisiwi terlihat tersenyum sendiri pada hapenya. Mungkin ia sedang berhaha-hihi di facebook atau sms-an dengan sang pacar, entahlah. 

Rabu, 02 November 2011

Topeng Berdarah.

              Dari stasiun, taksi membawaku menyusuri jalanan kota Edelweis. Kota tua yang tak pernah berubah semenjak kutinggalkan tiga tahun silam. Bangunan renta tak berpenghuni berderet di jantung kota. Menara tua masih berdiri tegak menantang angkasa. Puri-puri berselimut lumut di tepian garis pantai, lantang diterjang ombak, seakan menyimpan ratusan cerita. Pohon-pohon berumur abad, kuat berakar, dan uratnya menonjol meretakkan jalanan beraspal. Pekikan burung gagak yang menyeruak dari rimbunan bukit yang membiru, semakin menambah aroma mistis kota ini.