Jumat, 11 November 2011

Si Mulut Api

               Aku merasakan ada yang aneh sewaktu bangun pagi hari ini. Kepalaku sedikit ngilu dan suhu sekitar dadaku meninggi, seolah ada bara yang tertanam di dalamnya. Ketika menguap, tiba-tiba dari mulutku tersembur kobaran api--seperti yang sering kusaksikan dalam pertunjukan sirkus di televisi. Mataku membelalak, wajah seketika  memucat, dan rahang mengatup rapat. Kugenggam seprei dengan gemetar. Keringat menderas di kening dan badan menggigil saking takutnya. Apakah ini cuma mimpi belaka? Perlahan kutepuk-tepuk pipiku. Sedikit lebih keras, kutampar pipiku sekali, owgh, aku meringis menahan sakit. Tidak, ini bukanlah mimpi. Aku mulai panik. Berjingkat dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi, mencuci muka.
             
               Emosiku sedikit terkontrol sewaktu air dingin membasuh wajah. Kuhirup udara dalam-dalam dengan mata terpejam, dan menghembuskan perlahan. Menenangkan diri. Ah, mungkin ini hanya halusinasi saja, setelah semalaman aku menonton film horor di televisi.

             
                Aku meraih handuk yang tersampir di daun pintu, mengelap wajah. Ketika menuangkan pasta gigi ke bulu sikat, sambil menyanyi, kurasakan sesuatu yang menyengat penciuman. Semacam bau bangkai tikus. Kucari-cari di setiap sudut, kucium air di bak, kusibak baju-baju yang bergelantungan di daun pintu. Nihil. Ah, perasaanku saja. Aku kembali bernyanyi. Bau bangkai itu tercium lagi. Dadaku tiba-tiba bergetar hebat. Keringat menderas juga nafas tersengal. Aku mengulang lagi, bernyanyi. Tak salah lagi, bau bangkai itu nyatanya berasal dari mulutku. Ada yang bergejolak dari perutku dan hoek..!
                Satu jam menggosok gigi, bau bangkai dari mulutku tetap saja masih tercium, apalagi selagi berkata-kata. Seingatku, seumur hidup, sekalipun aku tak pernah menyantap bangkai apapun. Aneh, hari ini benar-benar aneh. Setelah menguap kobaran api, sekarang mulut berbau bangkai.
                **
                Terdengar pintu digedor-gedor. Itu Egy, kawan satu kost beda kamar. Kudengar ia berseru memanggilku.
Aku merapatkan selimut. Menyahutnya dari dalam kamar tanpa membuka pintu. Aku takut kalau Egy mengetahui keanehan ini.
                “Aku tak masuk hari ini. Tak enak badan!” teriakku.
                “Dasar pemalas. Bisa saja beralasan. Ya, sudah. Aku berangkat duluan.” Terdengar Egy meracau dari balik pintu. Memang, ini kebiasaan burukku. Sering bangun kesiangan. Hingga setiap pagi, ketika akan berangkat kerja, Egy selalu setia mengedor pintu kamar, membangunkanku.
                Sengaja hari ini aku membolos kerja. Kejadian barusan sungguh tak membuat nyaman. Aku tak berani beranjak dari kamar kost, takut jika orang-orang sekitar tahu keanehan ini. Seharian aku hanya berbaring di kasur, menatap langit-langit kamar. Merenung. Memikirkan sesuatu yang mustahil ini bisa terjadi. Sekali lagi kuhembuskan nafas ke udara. Benar, itu sungguh api yang berkobar. Apakah ada semacam minyak di perutku dan pemantik di mulutku. Entahlah, kepalaku semakin bertambah pening memikirkannya. Juga bau bangkai ini selagi aku berucap. Apakah ada organ dalam perut yang membusuk? Entahlah, aku tak tahu. Aku tak merasakan sakit apapun selain dada ini terasa panas.
                Seharian tidur di kamar, membuat perutku keroncongan. Mau tak mau aku harus keluar membeli makanan. Ah, bagaimana nanti urusannya jika ada orang yang mengajak berbicara. Haruskah kutanggapi dengan senyuman dan berlalu saja. Bagaimana pula aku harus menjelaskan kepada ibu warung, makanan apa yang hendak kubeli. Mungkin dengan isyarat tangan dan gelengan kepala saja. Atau kutulis dalam selembar kertas. Aku menjadi sangat khawatir. Bagaimana bila orang-orang tahu, bisa jadi nanti keanehan ini menjadi buah bibir sekampung. Tak bisa dipungkiri, nanti media juga bisa mengendusnya. Kureguk ludah. Apapun yang terjadi, aku tak akan membuka mulutku.
                Hati-hati aku keluar dari kamar, mengendap. Egy belum pulang kerja. Kamar yang lain juga kosong, ditinggal penghuninya kerja dan kuliah. Kubuka teralis besi, sesampai di jalan aku menengok kiri-kanan. Di jalan kudapati dua orang ibu-ibu melangkah ke arahku. Mereka sepertinya sedang membicarakan sesuatu.
Mataku terbelalak. Tiba-tiba dari mulut mereka menyemburkan kobaran api—seperti yang terjadi kepadaku. Mereka saling menyemburkan ke wajah kawannya. Anehnya, wajah mereka tak terbakar. Justru di dada mereka, dengan jelas kusaksikan memerah dan lama-kelamaan menghitam gosong. Jantungku berdegub kencang. Ketika berpapasan, kudengar, mereka membicarakan aib seseorang tetangga. Bau busuk yang merebak dari mulut mereka, sangatlah membuatku mual. Seketika ada yang mendesak dari dalam perut. Hoek..! Hanya cairan bening, kental, dan pahit karena sedari pagi belum makan.
                Pembicaraan mereka berhenti. Menawarkan bantuan kepadaku. Aku menolaknya dengan melambaikan tangan. Mengisyaratkan tubuhku baik-baik saja, hanya masuk angin biasa. Mulutku masih terkunci rapat, tak berkata-kata. Takut jika kobaran api dan bau bangkai sempat terpergok mereka.
Sesampai di warung, hal sama terjadi lagi. Kusaksikan empat orang ibu-ibu termasuk pemilik warung saling menyemburkan api ke wajah kawannya. Hati mereka terlihat menghitam serupa arang. Kudengar, mereka membicarakan rumah tangga Pak RT yang dikabarkan akan bercerai dan rebutan hak asuh anak.
Kepalaku semakin berdenyut. Pening. Ketika hendak kusosorkan daftar belanjaan kepada Ibu Warung, pandanganku mengabur, dan tubuhku ambruk tanpa daya. Pingsan.
                **
                Tiba-tiba aku berada di dalam sebuah gedung. Lampu-lampu berkelap kelip tergantung di dinding dan internit, menghias ruangan. Nampak meja panjang dengan deretan kursi berjajar, tertata rapi menghadapnya. Di atas meja, terhidang puluhan buah yang diletakkan di piring-piring kaca. Tumpukan gelas tersusun meninggi seperti piramida. Di tengah-tengah meja terletak tiga nampan besar, sepertinya menu utama acara ini.
                Para tamu berbusana rapi dan terbaik. Mereka berdiri sembari berbincang-bincang. Sepertinya menunggu acara ini dimulai. Dari kejauhan seseorang bertepuk tangan, menenangkan suasana, dan mulai mengawali sebuah kata sambutan. Mempersilakan para tamu undangan untuk duduk di kursi. Tiba-tiba ada seseorang menepuk bahuku dari belakang. Hei, itu Egy. “Acara apa ini, Gy?” Penasaran aku bertanya.
                “Kau tak tahu, Rif? Ini pesta makan malamnya Bu Warung. Sudahlah, jangan banyak bertanya. Cepat duduk ke sini. Mari kita nikmati pesta yang meriah ini.”
                Egy menarik sebuah kursi. Aku mengikutinya, duduk di sebelahnya. Heran. Rupanya aku mengenal semua tamu yang hadir. Mereka semua adalah orang di perkampungan sekitar kost-ku. Dahiku mengernyit. Egy tadi bilang apa? Pesta makan malam Bu Warung? Belum sempat aku bertanya kepadanya, menu utama dalam tiga nampan telah dibuka. Sebuah daging panggang berukuran raksasa. Tercium aroma lezatnya yang begitu menggoda selera. Tanpa banyak berkata, seluruh tamu undangan berebut meraihnya seperti tak ingin kehabisan. Egi menyodorkan sekerat kepadaku. Bilang ini adalah daging enak yang pernah dimakannya. Aku mulai menggigitnya, agak ragu. Egy benar, daging ini lezatnya tak terkira begitu menyentuh lidah. Dengan gerakan menguyah Egy berkata bahwa ini dagingnya Pak RT , istri, dan anaknya. Maksudnya?
                Aku terkejut. Daging panggang tadi seketika berubah menjadi seonggok bangkai manusia yang busuk, penuh belatung, dan nanah!
                **
                Nafasku tersengal. Mimpi apa aku barusan. Keringat membanjiri dahiku.
                “Kau sudah bangun, Rif. Dua jam lamanya kau pingsan. Beruntung, aku tadi pulang kerja lewat warung, menggotongmu, setelah tiba-tiba mendengar teriakan keras ibu-ibu. Kata dokter yang memeriksamu tadi, kau hanya kelelahan saja. Daftar belanjaanmu sudah kuletakkan di atas meja.” Egy menyodorkan segelas air putih. Aku menandaskannya hingga tetes terakhir.
                “Kalau kau sakit begini, bilang saja apa kebutuhanmu. Nanti aku bantu membelikannya. Tak usah kau repot keluar. Kalau begini kan kau justru tambah merepotkan.” Egy terus saja meracau, sebenarnya menasehatiku, ingin membantuku.
                “Kalau kau perlu apa-apa, hubungi aku. Baiklah, kau istirahat dulu. Kata dokter tiga hari juga, kau sudah bisa kembali bekerja.” Aku terdiam, tak menyahuti semua perkataannya.
                Egy beranjak dari kursi, meraih pintu kamar dan membukanya. “Kalau kau butuh sesuatu, hubungi saja aku.”
                “Iyaaa..” Aku menyahut sebal. Egy sudah menghilang di balik pintu. Ups.. Mulutku tak lagi mengeluarkan kobaran api dan bau bangkai!
                **
                Kusantap roti sembari menyalakan televisi. Berita utama malam ini, pertikaian antar kampung yang diduga terpicu rebutan wilayah pangkalan ojek. Keanehan kurasakan kembali. Seseorang, kulihat dengan jelas, mulutnya berkobar-kobar menyala ketika di wawancarai seorang reporter.
                Aku heran. Kupindah saluran ke sebuah stasiun swasta yang menayangkan infotainment. Seorang perempuan berparas ayu, bergincu delima, berbusana menarik, terlihat sedang membawakan sebuah wacana tentang kehidupan rumah tangga seorang selebriti. Kasus perceraian hingga masalah perebutan anak. Dari mulutnya keluar api yang menyala-nyala. Mungkinkah jika aku berada di sana, bau busuknya lebih tajam daripada bau yang berhembus dari ibu-ibu di warung tadi? Entahlah, kepalaku mulai pening lagi. Kenapa semua jadi begini?
                Kupindah saluran ke berita manca. Hari ini tersiar kabar seorang aktris dari negeri ginseng, gantung diri karena depresi. Ia diduga berbuat nekat, akibat tak tahan mendengar berita miring tentang dirinya yang dihembuskan lewat media internet. Yang mengatakan ia terkait dengan kematian seorang aktor yang juga bunuh diri karena berhutang kepadanya. Kepalaku semakin berdenyut. Sampai di sinikah mulut-mulut api itu hingga menyebabkan seseorang bunuh diri. Mematikan nurani dan akal sehat.
                Namun, hal yang semakin membuat kepalaku semakin terasa berat, adalah ketika menyaksikan pemimpin sebuah negeri adidaya berpidato di hadapan anggota kongres. Api berkobar seakan memenuhi ruangan, membakar dada setiap yang mendengarkannya. Pemimpin itu dalam pidatonya menyatakan, akan berperang melawan terorisme. Sebuah negeri di Timur Tengah disinyalir mempunyai senjata pemusnah massal. Harus dicegah dan ditindak!
Kubanting remot di lantai hingga baterainya terlepas. Kepalaku benar-benar pening luar biasa. Aku benar-benar tak menyangka sehebat ini efek mulut-mulut api itu membakar segala, dari nurani hingga akan membinasakan sebuah negeri.
                **
                Hari ini aku sudah masuk kerja seperti biasanya. Kondisi tubuhku sudah membaik. Aku mulai memahami apa yang menyebabkan semua keanehan ini terjadi. Tak heran sekarang, mataku sudah terbiasa menyaksikan fenomena mulut api dan bau bangkai ini ada di mana-mana; di televisi, di pasar-pasar, di terminal-terminal, di kantor-kantor, di tempat-tempat peribadatan, bahkan mungkin di rumah kalian sendiri.
                Tak lain dan pasti, karena mereka memakan bangkai sesamanya sendiri--seperti dalam mimpi burukku tiga hari yang lalu. Menyebarkan aib sesama, hingga menghembuskan kabar yang belum pasti kebenarannya, fitnah.
Aku menamakannya sebagai Si Mulut Api, tapi mereka lebih sering menyebutnya dengan penggosip dan pemfinah.

-pondok delima, 111o2o11 19:11

cerpen ini dilombakan menyambut milad leutika prio

Tidak ada komentar:

Posting Komentar