Senin, 07 November 2011

Keberuntungan Si Joe

Angkot yang kami tumpangi menyisakan sedikit ruang. Anak-anak berseragam putih abu bergelantungan di pintu. Tertawa-tawa, menantang bahaya. Rambut mereka meriap-riap tertiup angin pagi. Di bangku depan sebelah sopir, sesosok pemuda gondrong bertampang kucel, terlihat asyik menikmati sebatang rokok. Asap yang dihembus dari mulutnya menyebar ke segala penjuru. Terdengar suara batuk dari penumpang di belakangnya. Tak peduli, berkali-kali ia menghisap dan menghembuskannya. 

Di pojok belakang, seorang wanita setengah baya membekap mulutnya dengan tangan. Cuaca gerah, aroma keringat, juga asap rokok seakan menyiksa pernafasannya. Wajahnya tampak begitu rusuh. Keningnya berkerut-kerut, menahan kekesalan. Di sebelah kiriku, seorang mahasisiwi terlihat tersenyum sendiri pada hapenya. Mungkin ia sedang berhaha-hihi di facebook atau sms-an dengan sang pacar, entahlah. 


Sedang di sebelah kananku, sesosok ibu bertubuh subur, ricuh berkicau dengan rekan di sebelahnya. Kucuri dengar, mereka bergosip artis yang baru cerai seminggu lalu. Aih, topik apa lagi yang lebih seru dibanding yang itu. Mencermati barang yang dibawa ibu tadi, kemungkinan ia akan berbelanja ke pasar. Bram tepat berhadapan denganku. Sedari tadi matanya berkelok ke kiri-kanan mengawasi sekitar, seperti mata-mata tengah mengitai mangsa. Tampaknya, semua penumpang di angkot ini hanya mau tahu dengan urusannya masing-masing.

Bram melirik ke arahku. Ekor matanya mengerling ke kiri, memberi kode. Cepatlah! Aku mengangguk pelan.
Dadaku berdegub kacau. Peluh yang menyudut di pelipis, kuseka dengan punggung tangan kiri. Sementara itu jemari tangan kananku menelusup di balik jaket, menggenggam sesuatu. Perlahan kuturunkan tangan sejajar bangku penumpang.
Bram melirik lagi. Mengangkat alis dan mengerling ke kiri. Tak ada waktu, Jo! Bergegas!
Kukeluarkan silet dari genggaman. Bersiap menyayat dasar tas milik si ibu.
                Kureguk ludah, rasanya begitu pekat. Pekerjaan ini memang mengundang resiko besar. Apalagi bila gagal, maka nyawa jadi taruhannya. Aku mendengus, membuang jauh kemungkinan ini. Menghitung keadaan, sejenak aku terdiam. Nyaliku entah kenapa semakin menciut.
Kali ini Bram melotot. Alisnya bergerak-gerak naik. Ia mulai mengkal. Rahangnya mengeras. Aku paham, bila aksi ini tak jadi kulakukan, tunggulah sampai di  markas nanti. Ia pasti akan mengamuk, melayangkan bogem mentahnya bertubi-tubi ke mukaku. Sial. Aku merutuk dalam hati. Tak ada pilihan lagi selain melakukan ini.
Sementara pandangan kuedarkan sekitar, tanganku merayap, menyentuh dasar tas yang tersampir di bahu si ibu. Keringatku mengucur deras. Bram mengulum senyum.
Aku berhasil merobek dasar tas, satu ruas jari. Si ibu masih asyik bergosip dengan rekannya. Tak menyadari isi tasnya sebentar lagi berpindah tangan.
Dua ruas jari..
Dadaku berdegub tak karuan. Leleran keringat menderas di dagu, lalu jatuh ke pangkuan. Bram terlihat lebih tenang. Senyumnya mulai mengembang. Sorot matanya meyakinkan.
Tiba-tiba, si ibu merogoh ke dalam tasnya, mencari sesuatu.
Deg!
Urat leherku menegang. Sejenak aku dan Bram bersitatap. Ia mengedipkan matanya. Saatnya bergegas keluar sebelum segalanya terlambat. Entah kenapa aku justru terdiam, tak bergeming. Kondisi perut yang kosong ini malah mengacaukan rencana. Bram tampak gusar. Memejam. Seperti membayang kemungkinan buruk yang tinggal beberapa saat lagi.
                Detik seakan berjalan lambat, sementara jantungku berdetak cepat.
Si ibu menemukan sesuatu yang dicari. Sebuah Blackberry kini berada dalam genggamannya. Tertawa riang, ia memamerkan kepada rekannya. Syukurlah, ia tak menyadari dasar tasnya beberapa inci telah robek tersayat silet.
Bram menghela nafas perlahan. Ketegangan di wajahnya mulai mengendur. Ia menatap tajam ke arahku. Bram memberi isyarat, berkedip dan mengangguk pelan, menyuruhku segera menuntaskan misi ini.
Tiga ruas jari…
Silet kubuang ke dasar angkot. Tanganku mulai merogoh isi tas. Akhirnya, kudapatkan sebuah dompet. Lumayan tebal, semoga isinya banyak. Hati-hati kumasukkan ke saku celana.
Aku tersenyum, melirik ke arah Bram. Ia bangkit dari duduknya, berseru kepada sopir agar angkot menepi dan berhenti. Dua detik kemudian aku menyusul. Namun, ada yang tidak kami sadari ketika menjejak di aspal, rupanya si ibu turun juga di sini. Ketika ia memeriksa tasnya, spontan berteriak, “Copeett!!” Telunjuknya tepat mengarah kepada kami.
Tak buang waktu, tanpa menoleh, kuikuti Bram yang berlari duluan ke dalam gang, lalu berbelok ke kanan. Segera aku menyusulnya. Dari belakang, para penumpang beramai mengejar kami sambil berteriak gaduh.
“Cepat , Jo!” Bram berteriak lantang.
Kuikuti Bram ke mana ia lari. Enam belokan, Bram menghentikan langkahnya. Nafasnya terengah-engah. Wajahnya berpeluh. Teriakan ramai sayup-sayup terdengar, lalu menghilang. Bram tersenyum puas. Tertawa sebentar, lalu meninju bahuku. “Hampir saja kita mati. Untunglah, aku hapal daerah ini.” Ia tertawa lagi. Kami pun memutuskan kembali ke markas, kontrakan sempit di pemukiman kumuh, kamar seukuran 3x4 m berdinding papan dan beratap seng.
**
“Bagianku 60% dan kau 40%!” Nada bicaranya sok kuasa. Tak ada pilihan lain, aku mengangguk setuju meski sedikit mengkal. Tak apalah, Bram menyelamatkanku hari ini, tapi lain kali akan kukorupsi. Aku tersenyum culas. Kulihat wajah Bram berseri. Menimang-nimang dompet itu, lalu melemparkan ke udara.
“Jo, nampaknya hari ini kita panen besar.” Bram terbahak hingga gerahamnya terlihat jelas. Ia mulai membuka dompet. Matanya yang tadi berbinar, kini berubah nyalang.
“Kurang ajar. Apa-apaan ini?!” Bram mengeluarkan isi dompet dan menghamburkannya di lantai. Aku melongo menyaksikan kerja kerasku. Ternyata, hanya berisi kertas-kertas tak berharga. Bram mengaduk-aduk isinya lagi, meneliti, barangkali kertas-kertas itu ada yang berharga. Tak ada. Nyatanya hanya berisi catatan hutang-piutang sembako si ibu. Ada bon beras, telur, minyak goreng, dan banyak daftar lainnya.
Bram kesal. Membanting dompet itu di lantai, lalu bergegas keluar kontrakan dengan muka padam. Pintu kontrakan yang terbuat dari papan pun tak ayal menjadi pelampiasannya, dihempas begitu keras hingga dinding-dinding papan bergetar. Aku menggeleng. Kucermati satu persatu kertas itu. Harapanku tumbuh ketika menemukan dua kupon berhadiah; bergambar sebuah mobil, lima sepeda motor, dan puluhan lembar seratus ribuan. Sambil terpejam, kugosok karbon yang masih utuh dengan ujung kuku. Aku berdoa, semoga saja keberuntungan hari ini hadir melalui kupon ini. Kubayangkan, hidupku akan berubah lebih baik. Tak perlu mencopet lagi.
Tulisan di balik karbon tadi kututup dengan ibu jari. Kugeser perlahan. Sederet huruf tampak dan menyatu menjadi dua kalimat :
COBA LAGI.
Bibirku manyun usai membacanya. Kecewa, kurobek kupon tadi menjadi empat bagian dan menghamburkan ke udara.
Ah, barangkali kupon satunya lagi. Aku tak berani lagi berandai. Kugosok pelan dari ujung kiri. Aha, mataku kembali berbinar ketika kata pertamanya ANDA..
Anda mendapatkan sebuah sepeda motor, lima juta rupiah, atau sebuah mobil mewah? Aku tersenyum sendiri membayangkan peluang ini. Antusias kugosok semuanya.
Tubuhku lemas ketika tahu deretan kalimat di belakangnya. Kepalaku tertekuk. Benar juga kalimat itu, tapi setidaknya aku selamat dan tidak mati hari ini. Dalam kupon tadi tertulis jelas :
ANDA BELUM BERUNTUNG!

-pondok delima, o7112o11 13:17

*naskah ini diikutkan lomba milad leutika prio pertama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar