Jumat, 11 November 2011

Si Mulut Api

               Aku merasakan ada yang aneh sewaktu bangun pagi hari ini. Kepalaku sedikit ngilu dan suhu sekitar dadaku meninggi, seolah ada bara yang tertanam di dalamnya. Ketika menguap, tiba-tiba dari mulutku tersembur kobaran api--seperti yang sering kusaksikan dalam pertunjukan sirkus di televisi. Mataku membelalak, wajah seketika  memucat, dan rahang mengatup rapat. Kugenggam seprei dengan gemetar. Keringat menderas di kening dan badan menggigil saking takutnya. Apakah ini cuma mimpi belaka? Perlahan kutepuk-tepuk pipiku. Sedikit lebih keras, kutampar pipiku sekali, owgh, aku meringis menahan sakit. Tidak, ini bukanlah mimpi. Aku mulai panik. Berjingkat dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi, mencuci muka.
             
               Emosiku sedikit terkontrol sewaktu air dingin membasuh wajah. Kuhirup udara dalam-dalam dengan mata terpejam, dan menghembuskan perlahan. Menenangkan diri. Ah, mungkin ini hanya halusinasi saja, setelah semalaman aku menonton film horor di televisi.

Senin, 07 November 2011

Keberuntungan Si Joe

Angkot yang kami tumpangi menyisakan sedikit ruang. Anak-anak berseragam putih abu bergelantungan di pintu. Tertawa-tawa, menantang bahaya. Rambut mereka meriap-riap tertiup angin pagi. Di bangku depan sebelah sopir, sesosok pemuda gondrong bertampang kucel, terlihat asyik menikmati sebatang rokok. Asap yang dihembus dari mulutnya menyebar ke segala penjuru. Terdengar suara batuk dari penumpang di belakangnya. Tak peduli, berkali-kali ia menghisap dan menghembuskannya. 

Di pojok belakang, seorang wanita setengah baya membekap mulutnya dengan tangan. Cuaca gerah, aroma keringat, juga asap rokok seakan menyiksa pernafasannya. Wajahnya tampak begitu rusuh. Keningnya berkerut-kerut, menahan kekesalan. Di sebelah kiriku, seorang mahasisiwi terlihat tersenyum sendiri pada hapenya. Mungkin ia sedang berhaha-hihi di facebook atau sms-an dengan sang pacar, entahlah. 

Rabu, 02 November 2011

Topeng Berdarah.

              Dari stasiun, taksi membawaku menyusuri jalanan kota Edelweis. Kota tua yang tak pernah berubah semenjak kutinggalkan tiga tahun silam. Bangunan renta tak berpenghuni berderet di jantung kota. Menara tua masih berdiri tegak menantang angkasa. Puri-puri berselimut lumut di tepian garis pantai, lantang diterjang ombak, seakan menyimpan ratusan cerita. Pohon-pohon berumur abad, kuat berakar, dan uratnya menonjol meretakkan jalanan beraspal. Pekikan burung gagak yang menyeruak dari rimbunan bukit yang membiru, semakin menambah aroma mistis kota ini.

Jumat, 28 Oktober 2011

Catatan Si Bolang : Tukang Cukur Pitak.

               Senin kemarin, seorang rekan kerja berkomentar tentang penampilanku, “Rif, coba gih potong rambut. Kalo panjang gitu kan kamu kelihatan kucel.” Aku senyum tersipu, pingin garuk kepala nggak jadi, malu. Rekan yang lain ikut menimpali, ”Tuh, dengerin apa katanya.” Langsung pada disambut gelak tawa. Hei, ternyata masih ada juga yang memperhatikan ya. Besok senin, jika kita bertemu lagi, pasti potongan rambutku sudah pendek dan rapi, gumamku.
Pagi kemarin, sebelum mandi, aku bersiap dengan gunting dan sisir. Spion truk sudah ditegakkankan di tubir jendela. Menghadapnya, kumulai memainkan gunting di tangan kanan, sedang tangan kiri menggenggam sisir. Crash..

Selasa, 25 Oktober 2011

Catatan Perjalanan 6 : Pondok Kupu-kupu.

                Apa kabar, Kawan? Semoga kalian tidak bosan membaca catatan perjalanan saya yang terlalu panjang ini ya. Hehe.. setelah sampai di Malang, marilah kita lanjutkan kembali perjalanan ke pondok kupu-kupu di Wonorejo. Langsung saja ya. Selamat membaca!
                **
                Melelahkan, petang barulah tubuh ini bisa beristirahat. Tak sangka, perjalanan ke Malang ini menguras banyak energi. Udara dingin semakin menambah kekhawatiran. Mengusap kulit mencari hangat. Berkali aku bersin, hidung meler, sebelah mampet, dan sentrap-sentrup. Sedang mata rasanya pedas seperti terbakar. Untuk berjalan pun terasa lunglai, tulang bagai lepas dari sendinya. Namun, kupaksa untuk tetap tersenyum. Tak enak kepada Mas Sapee jika malahan akan merepotkan karena sakitku ini.

Selasa, 18 Oktober 2011

Catatan Perjalanan 5 : Malang.


                1 Sep 11, H + 2
                 Seusai kepulanganku dari Cirebon, aku berniat bergegas tancap ke Malang. Namun, melihat keadaan diri yang masih kelelahan, nampaknya perjalanan harus ditunda beberapa hari lagi. Ikah, yang sebelumnya aku culik, pun tak keberatan bila kuajak serta dalam misi berikutnya ini.
                Dua hari semenjak kepulanganku, aku meminta ijin Ibu. Seperti tahu kondisiku, beliau tetap tak mengijinkan aku keluar jauh. Tunggulah barang sejenak, beberapa hari lagi, begitu ucapnya. Usai lebaran mungkin aku akan diijinkan.
                Lebaran sudah datang, begitu cepat hari-hari dilalui. Rasanya sudah tak sabar berpetualang lagi setelah hari-hari diisi dengan berdiam diri di rumah. Kuminta ijin Ibu, memohon, beliau awalnya tetap menolak, aku tak patah arang. Meyakinkan bahwa perjalanan ini sangatlah mudah, seperti perjalanan-perjalanan sebelumnya ke Sukabumi, Wonosobo, dan Cirebon. H+1 akhirnya disepakati sudah. Beliau melepaskanku meski dengan banyak rasa khawatir di dadanya.
                Kuhubungi Ikah, meminta kesediaannya andil dalam perjalanan ini. Jawaban dari seberang telepon nyatalah membuyarkan harapanku. Ia tak bisa ikut. Bukan lantaran kecewa karena perjalanan kemarin, tetapi ia ada urusan mengantar kakaknya silaturahim ke Wonogiri. Aku harus mencari pengganti.
                Catatan belum usai. Tak ada ia, adiknya pun jadi. Aku segera melobi adiknya Ikah yang bernama Ikah juga. Kalau kalian masih ingat kisah tentang tiga lembar uang seribuan kan. Nah, Boi itulah orangnya. Ia meminta waktu sebentar sebelum memutuskan.
                Di rumah, Ibu terus menanyakan persiapanku ke Malang. Dengan siapa? Kujawab dengan Boi misalkan dia mau. Kalau tidak? Akankah perjalanan ini dibatalkan? Aku tak berani menjawab. Entahlah, mungkin ya bisa jadi tidak. Terbayang, jika gagal maka aku adalah orang yang ingkar.
                Pagi, sebelum segala sesuatunya diputuskan, kuhubungi Boi; harapan satu-satunya teman seperjalanan ini. Dari nada bicaranya di telepon, telah kuketahui sudah ia tak bisa ikut meski pun belum sekata pun menyinggung tentang perihal ini. Sendiri, harus kujalani. Keputusanku sudah bulat.
                Pamit kepada Ibu. Dengan jujur kukatakan perjalanan ini akan ditempuh sendiri. Tentu akan menambah berat kekhawatiran. Dengan berbekal doa dan keiklasan, kumulai catatan baru Klaten menuju Malang.
                Siapa yang menyangsikan bahwa aku adalah penduduk Klaten asli? Jika ada yang tak percaya, lihat saja KTP-nya :) Tapi pengetahuan tentang seluk beluk perkotaan, aku masih minim. Terbukti dari seringnya salah mengambil jalur, malahan memutar sampai beberapa kilo. Apalagi nama jalan dan letak instansi-instansi penting, nihil. Justru aku malah hafal urat-nadi di kota perantauan ini, Cirebon.
                Perjalanan melaju ke timur menuju Solo. Persoalan baru muncul. Sesampai di Jl. Brigjen Slamet Riyadi, jalan utama di kota ini, aku kebingungan mencari jalan. Kebanyakan plang di sisi kiri menunjuk ke arah Surabaya dan Purwodadi. Benarkah jalur itu yang harus ditempuh? Kubaca ingatan di peta, ya, ternyata aku harus menuju jalur Surabaya dulu untuk sampai ke Malang..
                Entah karena keterbatasan petunjuk atau apalah, aku kesasar lagi sampai terminal Tirtonadi. Di daerah ini semua plang menunjuk ke tempat tertentu, bukan arah kota besar--Surabaya. Akan ikut bus pun ada rasa ragu-ragu, takut memutar lebih jauh lagi. Akhirnya, dengan menatap matahari pagi yang memancar di timur, kutuju ke sana.
                Meski sedikit berputar-putar mencari ruas jalan besar, Mojosongo ternyata arah yang kutuju. Setelah pulang dari mudik, barulah kuketahui bahwa jalur ini memutar dua kali lebih jauh bila dibanding melewati Palur. Tak apalah, terpenting kota Solo yang ribet jalur jalannya ini telah terlewati. Kawanku yang beberapa tahun kuliah di sini pun berujar, memang kota Solo itu membingungkan jalannya.
                Ke timur, sekarang melintasi Sragen. Situasi mudik seperti ini, banyak jalur lewat kota dialihkan mengitari pinggiran. Menghindari kemacetan tentunya, meski memutar. Hampir selama satu jam akhirnya aku sampai di perbatasan Jateng-Jatim. Nganjuk, wilayah yang sangat luas terbentang hutan.
                Tak disangka, daerah ini lumayan sepi. Sepanjang jalan hanya ditemui deretan pohon jati dan akasia. Perkampungan jarang dijumpai. Di beberapa tempat disediakan posko mudik. Ada hal yang unik menurut pandanganku--orang yang baru sekali melintas ke sini. Di jalan, akan ditemui beberapa pedagang menjual hewan peliharaan yang tak lazim. Bedes, atau orang sering menyebutnya kera.
                Kera-kera tadi dikurung dalam sangkar kawat seukuran kardus mie. Tingginya kera tiga puluhan senti, berbulu abu-abu, dan berekor panjang. Sepertinya kera-kera yang sering digunakan dalam pertunjukan topeng monyet. Para pedagang mungkin mendapatkannya dari pemburu di sekitar hutan jati dan akasia ini.
                Melesat, yang menjadi kekhawatiran melintas daerah ini adalah minim SPBU. Tentu karena areal yang jauh dari keramaian. Sebelum benar-benar kehabisan bahan bakar, aku rela mengantri sekitar dua puluh menit di sebuah SPBU.
                Perjalanan lanjut ke Caruban, Madiun. Di sebuah pertigaan, kubelokkan kendaraan ke arah kanan. Seratus meter kemudian mendadak ragu. Kuambil peta pemberian Dora (ah, tidak, hanya bercanda). Kupelototi. Hey, ternyata aku salah jalur lagi. Syukurlah, tak jauh. Sampai di sini aku telah keliru dua kali.
                Dari Caruban ada beberapa jalur untuk bisa sampai di Malang. Pertama ke arah utara, melintasi Jombang, Mojokerto, barulah berbelok lagi ke selatan. Jalanan besar dan ramai, tetapi agak memutar jauh. Kedua, setelah sampai di Kediri, lurus terus ke selatan. Nanti tembusan Tulung Agung barulah menuju ke timur melewati Blitar. Embong—begitu masyarakat jatim menyebut jalan—cukup besar dan lancar. Ketiga dan terakhir, melewati dataran tinggi Batu. Ke timur dari kota Kediri. Aku memilih jalur ini untuk sampai ke Malang. Tentulah pengharapan ingin melihat seperti apa medan dan juga pohon apel di Batu.
Sampai di kota Kediri, keadaan membingungkan lagi. Tak ada plang hijau penanda jalan. Tersesat lagi, aku salah ambil jalur ke Tulung Agung. Melewati jembatan panjang yang menjulang di atas sungai besar. Sejenak berhenti, memperhatikan peta lagi. Seorang bapak setengah baya menghampiri dengan motornya. Dia kebingungan menentukan arah. Katanya ia berasal dari—seingatku—Gresik. Ia ingin mengunjungi menantunya di Tulung Agung. Beruntung, ia tak salah arah. Kujelaskan padanya sembari menunjuk peta. Kumantapkan pilihannya dan sekali lagi aku yang kesasar. Bapak tadi melanjutkan perjalanan dan aku harus memutar lumayan jauh.
Sebuah bangunan seperti kubus raksasa menjulang tinggi dengan gagah di persimpangan lima di Kediri. Sekitarnya ada taman kecil dan dilingkari jalan yang teramat lebar. Beberapa kendaraan merapat dan berdiam diri di sana. Rupanya, sedang berekreasi. Beberapa pemudi berpose mengabadikan momen ini. Andai saja aku membawa kamera digital, tentulah fotonya akan bisa kalian lihat di catatan ini :)
Melewati jalur alternative Pare, sejenak aku berhenti melepas lelah. Oh, tidak. Mukaku ternyata sangat kusut. Kerutan kelelahan tampak menggaris. Juga bola mata yang memerah karena iritasi debu dan asap kendaraan. Jaketku pun terlihat lusuh dan kotor. Cukup lama aku terhenti di sini. Mencuci muka. Dan kabar buruknya, tubuhku mulai gejala flu.
                Mas Sapee--kawanku yang dulu rekan kerja dan akan kuinapi menanyakan keberadaanku. Perkiraan dari Pare sekitar dua jam lagi, katanya. Menghibur. Malang telah dekat. Mbak Dew yang tak kukabari tentang keberangkatan ini rupanya sudah tahu dari status yang kushare di fb. Ia mengirim pesan, menanyakan juga. Telah dekat lagi. Sepertinya janji kecil ini akan terlunasi keesokan harinya.
                Jalur alternative kutempuh untuk sampai Batu. Sialnya, tak terdeteksi dalam peta. Aku kesasar sampai masuk jalan kampung, berputar balik, kesasar lagi. Entah berapa kali hingga kutemukan jalan besar.
                Untuk menghindari kesalahan lagi, aku menguntit sebuah motor berplat N yang menunjuk domisili Malang. Mengikuti terus di belakang. Meski sedikit tertinggal karena kurangnya penguasaan medan, beruntung aku tak kehilangan jejaknya.
                Sampailah di jalan menanjak, menunjukkan sudah memasuki kawasan perbukitan. Pemandangan daerah ini sangatlah menakjubkan. Jalanan mengikuti aliran sungai yang beriak berbuih keputihan karena dangkalnya. Dari jauh pepohonan tampak membiru. Udara terasa sejuk mengisi paru-paru. Menyenangkan sekali melintas kawasan ini seolah kelelahan terhapus sekali waktu.
                Sesampai di daerah Ngantang, aku terpukau. Lihatlah, sebuah cekungan raksasa menampilkan pesona keindahannya; Waduk Selorejo. Waduk yang dikelilingi gunung Kelud, Anjasmoro, dan Kawi ini berada di ketinggian 600 mdpl. Di sepanjang jalannya berbuka warung makan dengan menghadap ke arahnya. Waduk yang utamanya digunakan untuk irigasi ini, juga dibuka untuk rekreasi. Sayang, aku tak sempat sejenak berhenti di sini. Perjalanan masih panjang dan aku merindukannya T.T
                Pernahkah kalian ke Batu? Membayangkannya? Daerah ini sangat sangatlah eloknya. Teduh, sejuk, dan nyaman. Aha, aku terlalu takjub. Beberapa rombongan pemudik terlihat bersantai di tepian jalan. Menikmati panorama ini. Namun, sepanjang perjalanan kenapa tak jua kutemukan pohon apel yang termashur itu ya? Dimana..dimana..oh dimana.. Kemana..kemana..harus kucari.. Rupanya ada kawasan sendiri tempat membudidayakannya. Mengenai apel-apel ini, adakah arek Malang yang mau menjelaskannya? :)
                Jalanan di daerah Batu ini macet. Tujuan kepentingan antara mudik dan rekreasi menjadi penyebabnya. Berkilo-kilo jauhnya, terpaksa aku melambatkan laju. Menyusup diantara kendaraan besar. Akhirnya, sekitar setengah jam kemudian aku tiba di kota Malang. Horee.. :D
                Mulanya, kuanggap kota ini mudah ditaklukkan, dalam artian aku mengetahui jalur ke rumah Mas Sapee. Melintasi UMM, IAIN, lalu Brawijaya cukuplah menyenangkan. Setelah hampir satu jam lamanya, kenapa juga tak ada tanda-tanda bisa keluar dari kota ini menuju Bululawang. Kesombongan menyesatkan akalku. Aku menyerah setelah waktu mendekati petang. Kukabari Mas Sapee. Ikutilah angkot menuju terminal Gadang, begitu petunjuknya. Aku masih bingung, maka ketika kujumpai seorang pejalan kaki. Kutanyakan kepentinganku, ia mengatakan tanpa beban dan bersalah. Ia membohongiku, membuat aku berputar lagi di jalan yang sama. Ah, siapa suruh percaya pada orang yang baru dikenal. Atau barangkali penjelasankulah yang kurang jelas, meracau.
                Tubuhku lelah, pikiranku terlebih lagi. Kota besar seperti Malang sama juga seperti Solo. Jalannya menyesatkan pendatang. Terlalu. Ditengah keputusasaan, aku berhenti di sekat perempatan. Mendinginkan pikir. Di sana di sebuah rumah kecil, seorang suami istri semoga bisa membantuku keluar dari kota ini.
                Cukup jelas apa yang disampaikan pasangan suami tadi. Bululawang masihlah teramat jauh menurut jangkauannya. Tetapi, akan gampang bila menuju terminal Gadang dulu. Nanti Mas belok kanan dan lurus terus. Akan ditemui petunjuk lagi, begitu terangnya. Olehnya, aku banyak mengucap terima kasih.
                Akhirnya, kutemukan juga terminal ini. Kukabari lagi Mas Sapee. Dari sini rupanya Bululawang, rumah kawanku ini sangatlah dekat. Sekitar lima belas menit sampai. Kubuka alamat yang dismskan kepadaku. Mencarinya, hingga ia mengabari memintaku menunggu di depan SPBU An-Nur saja. Seperti hafal akan ciri fisikku, ia dengan mudah meneleponku ketika tak sengaja aku melintas di hadapannya. Kami bertemu setelah tiga tahun berpisah. Malang, aku telah datang!
                **
                Semoga, kalian tak berkunang-kunang membaca tulisan ini :P Catatan yang masih akan berlanjut dengan kepulanganku dari kota ini melewati Mojokerto-Jombang. Insyaallah kita berjumpa lagi di catatan perjalanan yang ke 6. Melelahkan.
                Salam pena!

                *pondok delima, 181o2o11 19:23

Catatan Perjalanan 4 : Mudik (Lagi) di Pantura

                Apa kabar, kawan? Kita bertemu lagi dalam catatan perjalanan yang ke empat. Perjalanan mudik untuk kedua kalinya dengan jeda tiga hari. Antara Cirebon sampai Klaten. Mungkin kalian kecapekan membacanya, apalagi saya yang menjalaninya ya. Hehe.. oke, akan saya mulai ceritanya. Semoga terhibur.
                ***
                Malam telah sepenuhnya merapat. Aku dan Ikah mampir sejenak di dekat daerah tol Kanci. Mengisi perut yang sedari subuh tadi kosong, usai berpuasa. Perjalanan dari sini masihlah sekitar satu jam lamanya dengan kecepatan sedang, namun karena faktor kelelahan yang menguasai kami. Aku bersemangat untuk meringkas menjadi setengahnya saja, setengah jam kurang lebih.
                Jarak antara Kanci dengan Palimanan sekitar 35 km. Jika kalian pernah melewati jalan tol di Cirebon, itu akan menjadi pintu masuk dan keluarnya. Oya, kalian pasti tahu jalan tol tidak boleh dilalui kendaraan roda dua, tetap masih ada mereka yang tak mengetahuinya—dulu pun aku juga begitu, hampir saja masuk jalurnya—setiap mudik menjelang, maka polantas, tentara, juga anak-anak pramuka disiagakan di ujung tol Pegagan, Palimanan untuk mengantisipasi pengendara sepeda motor yang akan salah jalur masuk ke jalan tol.
                Kupacu motor membelah angin. Tak ada percakapan antara kami. Terdiam. Ikah merapatkan tubuhnya, mendekap erat. Menyamankan keadaan. Sementara aku berkonsentrasi penuh pada jalanan. Siaga. Terlalu riskan sebenarnya memacu kendaraan dalam kecepatan tinggi. Penghindaran yang tiba-tiba bisa berakibat fatal jika pengemudi tak bisa mengendalikan. Terlebih pengemudi tak menguasai medan, titik-titik rawan terjadinya kecelakaan.
Berbekal pengalaman, berpuluh-mungkin ratusan kali melintas jalan ini semenjak empat tahun lalu. Aku memutar gas penuh ketika melintasi jalanan pantura yang jauh dari perumahan penduduk. Jalanan yang cukup lenggang, kendaraaan yang melintas bisa dihitung dengan jari, sebaliknya dari arah berlawanan rombongan pemudik sudah mulai memenuhi badan jalan. Sungguh kontras dengan dua hari yang lalu.
Akhirnya, tiga puluh menit—pukul sepuluh malam--kami sampai di tempat tujuan. Kost yang berada di areal perpabrikan. Berdebu dan jauh dari pemukiman penduduk. Ikah mengistirahatkan tubuhnya, yang tadinya kelelahan kini memejamkan mata pun sulit. Berkali dicoba, tak bisa. Mungkin masih asing dan kurang nyaman dengan suasana kostku yang bising ini--deruman mesin pabrik setiap malam samar terdengar. Inilah kedua kalinya, ia menginap di kamarku ini setelah beberapa bulan yang lalu mampir sewaktu perjalanan jauh juga dari Bandung- Cirebon-Klaten.
Terbayang, perjalanan esok hari pastilah menghabiskan banyak energy. Melelahkan. Hanya semalam ini kami istirahat, besok pagi berangkat lagi menuju Klaten seusai aku melunaskan urusan di sini.
Pagi-pagi kami sudah terbangun. Kurang tidur. Ikah asyik meneruskan membaca buku semalam, sementar diriku sibuk di kamar mandi, mencuci baju. Jam sembilan kami berangkat. Pulang!
Apa yang kami saksikan di jalan rupanya menjadi hiburan tersendiri. Beraneka ragam pemudik silih berganti melintas. Ada seorang yang dengan sepeda tuanya—wow—mengayuh pedal dengan santai. Di bagian belakang tertulis dengan jelas alamat si bapak ini, Tegal. Ada juga yang mudik mengendarai vespa butut, tentu yang ini kalian sering melihatnya bukan. Namun yang sering kali mencolok di antara sekian banyak pemudik ialah mereka yang memberi identitas daerah asal dirinya-atau mungkin mereka sedang mencari teman seperjalanan. Kardus-kardus yang ditempatkan dibelakang motor, diikatkan dengan rafia yang dijepit dua bilah bambu atau kayu, acapkali dipasang tulisan besar yang bisa dibaca oleh pengemudi di belakangnya. Biasanya dengan embel-embel cah atau wong yang berarti bocah atau orang. Semisal, Cah Sragen, Wong Solo, Cah Jogja, dll. Aku hanya tersenyum, perlukah juga aku melakukan ini? Ah, lupakan saja. Aku tak ingin menirunya.
Cirebon macet, terutama di pasar Plered. Pinggiran jalan di penuhi dengan pedagang, sedang di sisinya abang becak ngetem menunggu rejeki. Tak mau kehilangan trayek, angkot pun seenaknya berhenti, menunggu penumpang yang tak pasti. Sesekali terlihat kenek bergegas membantu penumpang mengangkut barang belanjaan. Suasana yang panas ini semakin menambah gerah. Puluhan klakson berteriak meminta jalan. Bersabarlah. Macet, berarti agar semua kebagian jalan bukan?
Sengatan matahari seperti menguliti kulit. Membakar keringat. Perjalanan ini barulah dimulai. Namun wajah-wajah capai nan kelelahan tergambar jelas di orang-orang. Sebenarnya, suasana seperti ini sangatlah tak kondusif. Acapkali yang terjadi uring-uringan. Kemacetan yang panjang. Asap knalpot yang membungkam pernafasan. Juga bising yang memekakkan telinga. Belum lagi sesama pemudik yang saling mendahului, asal salip. Menambah daftar keruwetan perjalanan jauh ini. Syukurkah, di kota sedikit lega. Kendaraan bisa melaju, meski masih dengan kecepatan rata-rata.
Di timur kota, sudah tak terjadi kemacetan lagi. Padahal, setahun yang lalu, sebelum jembatan layang yang melintasi pasar Gebang belum jadi. Kemacetan panjang mengular terjadi di daerah ini. Penyebabnya pasti, seperti halnya keadaan pasar. Pedagang yang tumpah ruah di badan jalan, penyeberang yang memotong jalan, ditambah angkutan yang berhenti sembarangan. Jika kalian melintasi pasar ini, akan tercium aroma ikan—atau terasi—yang menusuk hidung. Ikan-ikan segar hasil tangkapan nelayan pun dijajakan di sepanjang jalan. Bila kalian ingin mencari yang lebih murah, bisa masuk ke dalam melalui jalan sebelah kanan sungai. Sepanjang aliran sungai, kalian akan menjumpai perahu nelayan yang melabuh. Perahu-perahu tadi bergerak menggunakan motor tempel. Beragam warna dan nama, yang unik terkadang ada di antaranya memasang bendera partai. Kampanye? Entahlah.
Di muara, akan ditemui TPI (tempat pelelangan ikan). Tetapi aku tak tahu kapan diadakannya. Dari sini kalian bisa memandang hamparan laut yang luas, namun sayang, sepanjang tepian pantai ini hanyalah lumpur tiada berpasir. Tak ada yang berekreasi di sini, kecuali untuk urusan mencari lauk ikan atau ranjungan.
Pantai utara, lebih sering disebut pantura. Memang benar adanya. Jalur panjang di dekat tepian pantai. Bila kalian sampai di Tegal, saksikanlah pantai akan terlihat dari badan jalan. Warnanya yang kebiruan, ombaknya yang putih sedikit berbuih, juga angin yang melambaikan pepohonan kelapa yang menyisir sepanjang tepian. Indah.
Kami bergerak perlahan. Jalanan di Brebes dan Tegal macet total. Menyelip diantara kendaran besar. Menepi, menyusuri jalanan tanah berdebu untuk dapat melaju. Hampir semua pemudik melakukan hal yang sama.
Di daerah Pemalang, barulah keadaan jalan yang lengang. Rupanya, ada sedikit masalah. Tubuhku benar-benar drop. Dehidrasi. Medan pantura yang rendah dengan cuaca panas telah banyak menguras energy. Berbeda dengan jalur tengah yang teduh dan berdataran tinggi. Bibirnya Ikah bahkan telah mengering, tubuhnya tak kalah lesu. Oh, bagaimanakah ini, padahal kami sedang berpuasa. Menyaksikan sebagian pemudik yang sedang berbuka, betapa nikmatnya.
Pandangan sedikit kabur. Cengkraman kemudi tidaklah sekuat sebelumnya. Pikiran pun seperti berhalusinasi. Aku putuskan berhenti di SPBU Comal, Pemalang. Sejenak beristirahat setelah keluar dari kemacetan. Di sinilah terjadi pertarungan antara akal dan nafsu. Antara berpuasa dan berbuka. Menurut kalian, apa yang akan kulakukan?
Ini bukan kali pertama aku melakukan perjalanan ini. Tentu paham akan kondisi juga situasi seperti ini. Berkali aku menimang keputusan. Melihat Ikah yang kelemasan. Memandang toko yang menyajikan minuman dingin. Kembali menatap Ikah yang bertahan menahan dahaga. Melirik toko yang menjanjikan kesegaran. Aku putuskan!
Minum!
Ah, legaaaa…
Eit, kalian jangan protes. Ini tentu dengan pertimbangan. Ikah tetap bertahan dengan puasanya, biarlah aku ‘harus’ berbuka. Perjalanan ini tak seenteng yang terbayangkan seperti kemarin. Justru membahayakan mengemudikan kendaraan dalam keadaan kurang konsentrasi. Resiko kecelakaan lebih besar.
Kami melaju dengan semangat baru. Sebotol minuman dingin cukup membantu. Kecepatan yang tadinya melambat kini telah bergerak cepat. Melesat.
Terkadang, kami tertawa di jalan melihat pemandangan yang menggelikan. Bagaimana tidak? Bantal yang harusnya tempat sandaran kepala kini beralih rupa menjadi tempat duduk di atas jok. Rupanya, olok-olokan tadi berbalik ke arah kami beberapa jam lagi.
Tak ada jeda istirahat lagi, kami hanya mengisi bahan bakar di SPBU kemudian berangkat lagi. Menaiki perbukitan di daerah Kendal, Ikah meminta gantian mengemudi.
Jalanan yang menyenangkan. Berkelok-kelok, naik turun, sedikit tikungan tajam, menjadi hal yang menghibur. Setidaknya, kami bisa mengandaikan jalanan ini seperti sirkuit balap. Sejauh ini, barulah hasil mudik dari Wonosobo-Cirebon-Klaten baru terasa. Punggung kami terasa pegal. Berulang kali ditegakkan. Apalagi—maaf—pantat kami kepanasan seperti hilang karena kelamaan duduk. Maka, berkali-kali pula kami mengeluh. Membawa bantal dalam perjalanan mudik menjadi pertimbangan yang layak masuk daftar.
Sampai di Magelang, kami berbuka—ups, ralat—Ikah berbuka, karena aku hanya berpuasa setengah hari. Membeli roti bakar dan minuman dingin, lalu menikmatinya sembari bercerita, tertawa-tawa. Menertawakan bantal.
Setengah jam kemudian kami berangkat. Sekitar satu setengah jam kami sampai kampung halaman. Mengantar Ikah pulang ke rumah setelah menculiknya dua hari. Bukannya langsung istirahat, justru obrolan kami berlanjut satu jam lebih. Oh, tentu kalian tahu apa yang diobrolkan para bujang seperti kami. Tak ada yang lebih menarik daripada tema tentang per..ni..ka..han!
**
Hmm, sepertinya catatan perjalanan Cirebon-Klaten selesai di sini. Sebenarnya, ada satu bagian menarik dalam perjalanan ini yang saya sembunyikan karena tak layak diceritakan. Kejadian yang membuat kami kebingungan, tak menyangka, penasaran, juga menebak-nebak. Dan, saya ucapkan selamat berkunang-kunang..eh, selamat bersenang-senang bisa ikut berpetualang dalam perjalanan ini. Insyaallah kita berjumpa kembali dalam catatan selanjutnya; Klaten-Malang. Makasih. Salam pena!

*pondok delima, 181o2o11 o8:26

Jumat, 14 Oktober 2011

Catatan Perjalanan : Jalur Tengah

25 Aug 11, H-5
                Sepenuhnya kini aku dan Ikah sudah sampai pada tujuan, kopdar dengan mbak Nessa. Meski saat itu—boleh dikatakan dadakan—karena aku sama sekali tak mengabari dulu secara langsung melalui hape, hanya lewat pesan fb yang itu pun dibuka setelah kami sampai di sana. Beruntung, kami tak kesasar dan kesulitan mencari alamat.
                Obrolan mengalir hangat. Satu dua tiga berselang berbagi cerita. Tak jauh dari dunia buku; membaca dan menulis. Mbak Nessa ditemani suaminya, melimpahkan keramahannya.
                Agaknya sesuatu yang menyenangkan itu terasa berjalan singkat. Dua jam ternikmati sudah. Lepas, semua cerita. Sepertinya jalan yang kami tuju tadi terlampau jauh jika lewat Parakan. Padahal, menurut penjelasan suami mbak Nessa. Kami bisa saja memotong jalan sekitar Borobudur. Mengambil jurusan Purworejo. Artinya, Magelang menembus ke barat tak melewati gunung Sumbing. Memang, jalan itu alternative, kecil.
                Kukeluarkan peta, teman setia yang kubawa selagi melakukan perjalanan ke daerah baru. Kuperhatikan. Jariku menelusuri garis hitam di antara warna kuning-merah yang menunjukkan daerah berdataran tinggi pada peta. Tak ada, hanya jalur satu-satunya melalui Parakan. Ternyata, jalur alternative benar-benar tak tertunjuk. Suami mbak Nessa menerangkan dengan seksama. Mengenai jalur yang harus dilewati. Karena baru sekali ke daerah ini, tentu tak mudah bagi kami memahami. Pulang dari Wonosobo, mungkin akan mencoba melalui jalur alternative itu kalau saja…
                Sebuah pesan masuk, seorang rekan mengabarkan ‘sesuatu’ dari tempat kerja. Buru-buru aku mengkonfirmasikan langsung ke kantor. Pukul tiga sore, aku harus di sana, berkumpul bersama. Bagaimana mungkin, saat itu barulah pukul sebelas siang, perjalanan Wonosobo-Cirebon tidaklah singkat. Paling cepat tertempuh tujuh jam denganberkendara motor, itu pun tanpa jeda istirahat.
                Keadaan yang tidak memungkinkan ini membuat aku harus segera mengambil keputusan cepat. Aku meminta pertimbangan Ikah. Rencana awal yang hanya ke Wonosobo harus berubah. Menuju Cirebon, meski tanpa persiapan jelas.
                Sebenarnya, perkara ini sangatlah dilema bagiku. Jika kuputuskan pulang ke Klaten, maka malamnya aku harus melaju ke Cirebon. Tidak bisa tidak karena urusan ini penting. Berhitung, 3,5 jam ditambah 8 jam, itulah jarak yang harus kutempuh, sendiri. Namun, bila terus melaju ke sana. Paling tidak jika melewati pantura, sekitar tujuh jam lamanya. Berbeda jika lewat jalur tengah atau selatan. Bisa sampai sepuluh jam.
                Membujuk, kucoba meyakinkan Ikah bahwa aku butuh kepercayaannya. Aku butuh waktunya, tenaganya, juga penjagaannya untuk bisa meneruskan misi ini. Kupandang pada matanya, menembus ke dalam, menyentuh hatinya (lebay banget ya..hehe). Aku menawarkan pilihan untuk mengemudi sampai tempat tujuan. Ikah menimbang, sepertinya itu pilihan terbaik, ikut denganku setelah ada pemikiran ia mau pulang saja dengan naik bus.
                Sebelum berangkat lagi menuju Cirebon, mbak Nessa menahan sejenak langkah kami. Ingin memberiku oleh-oleh sebuah buku, tentu tidak di rumahnya saat itu, tetapi di Rumah Rumbia rumah ibunya.
                Sebentar menuruni jalanan berbatu yang curam, perempatan lurus, dan masuk gang, akhirnya kami sampai di tujuan. Bu Maria Bo Niok—ibunya mbak Nessa—mempersilahkan kami memasuki ruang tamu yang juga taman bacaan. Di sana banyak pengetahuan tersebar. Sebuah folder tentang perjalanan menulis Bu Maria dan mbak Nessa terangkum tersusun dalam kliping-kliping; baik itu dari koran, majalah, ataupun buku-buku. Perjalanan menulis yang butuh perjuangan panjang, tak kenal lelah.
                Ketika akan segera pamit, kami dihadapkan dua pilihan setelah sejenak bercerita kepada Bu Maria tentang perjalanan ini. Akankah kami melewati Parakan menuju pantura, ataukah ke selatan lewat jalur tengah menuju Banjarnegara. Sejujurnya aku bingung, jarak berbeda, medan juga tak sama, namun apapun keputusannya tak akan kami sesali. Ikah, ah dia memilih jalur Banjarnegara karena ingin menyaksikan pemandangannya. Bu Maria menyarankan lewat pantura karena lebih cepat.
                Seperti janjinya mbak Nessa, buku kumcer Perempuan Ingin Adzan karya ibunya pun aku kantongi. Makasih, mbak… :D
                Jalanan berbatu kembali kami daki. Medan yang cukup berat, sesekali ban depan motor sedikit terangkat hilang kendali dan miring menyeruduk tanah. Dasar, kami malahan tertawa. Menertawakan diri sendiri. Rupanya, kami belum mahir mendaki jalanan berbatu seperti ini. Tak jauh, jalanan beraspal sudah nampak. Marilah, kita memilih jalan. Bismillah. Banjarnegara, kami datang!
                Menyenangkan, jalan yang kami lalui teduh. Sepanjang jalan, pohon-pohon besar memayungi berderet seperti pagar. Jalanan menurun landai dengan beberapa bagian berkelok. Jarang dijumpai perkampungan. Udara sejuk menyamankan paru-paru. Perjalanan tengah hari ini sungguh mengasyikkan.
                Kami baru tahu jika di Banjarnegara ada arung jeram. Terpampang dalam sebuah plang. Sungai jernih mengalir di sebelah kanan jalan. Bebatuan bulat tersebar di sisinya. Berlekuk-lekuk, mungkin ini satu jalur yang dilalui olahraga ini. Kami hanya bisa menebaknya, karena saat itu memang tak langsung menyaksikannya.
                Tak lama, Ikah terbebani kantuk. Berkali-kali tubuhnya miring ke kiri, balik tegak, ambruk lagi ke kanan. Lehernya lunglai, kepala bersandar pada punggungku. Ia bercerita, semalam baru tidur jam satu, bangun jam tiga bersahur dan setelah subuh tidak tidur sampai keberangkatan. Aku tak keberatan, aku juga demikian kalau sedang ngantuk juga. Beristirahat sekarang tidaklah tepat sebab mengurul waktu.
Hampir empat jam lamanya, akhirnya sampai juga di Ajibarang setelah sebelumnya melewati Purbalingga dan Purwokerto. Kami beristirahat di sebuah SPBU. Sejenak melepas lelah dengan tidur-tiduran.
                Rupanya, Ikah tak tega melihatku kecapekan. Ia menggantikan posisi mengemudi,meski aku telah berjanji untuk menuntaskannya sampai Cirebon. Tak apalah, jawabnya. Bagi Ikah, jalur ke Bumiayu-Brebes ini barulah pertama kalinya. Menjadi catatan perjalanan yang seru. Namun bagiku terasa membosankan karena tiga kali ini melewatinya. Baiklah, nanti aku ceritakan medannya. Keadaan semakin meredup pertanda sore akan berganti petang.
                Memasuki Bumiayu, jalanan sudah menanjak. Daerah ini termasuk dataran tinggi. Udara menusuk kulit. Sinar matahari terhalang pepohonan dan tebing. Sering dijumpai tikungan tajam menurun dengan sisi kanan-kirinya jurang. Dari jauh, hamparan perbukitan yang terlihat. Andai bukan sore hari, tentu pemandangan ini sangatlah menakjubkan.
                Jalur ini juga dilalui kendaraan besar seperti bus juga truk. Terkadang, Ikah kesulitan untuk mendahului kendaraan-kendaraan tadi—terutama truk bermuatan—karena jalannya yang berliku dan dari arah berlawanan tidaklah terlihat adakah kendaraan. Jarak pandang menjadi terbatas. Satu petunjuk berada jelas di tengah aspal. Bila itu garis patah-patah, berarti aman untuk mendahului. Jika, itu garis memanjang, janganlah mencoba menyalip karena resikonya sangat besar. Pernahkah kalian perhatikan rambu-rambu ini? Eh, penting lho :)
                Matahari telah sepenuhnya tergelincir dari langit. Kami pun telah turun dari jalur perbukitan. Di daerah Brebes, jalanan lumayan hancur—maksudku, masih dibenahi hanya bisa dilalui satu sisi—bila ada kendaraan roda empat berpapasan, terpaksa salah satu berhenti mengalah memberikan ruang bagi kendaraan. Tidak bisa dibayangkan andai mendekati hari H. Macet mengular panjang merayap seperti yang kualami beberapa tahun silam.
                Aku mengerti apa yang tersirat dalam benak Ikah ketika melewati jalan ini. Seperti pada pertama kalinya aku melalui jalur ini, sempat bertanya-tanya. Dari Bumiayu ke arah Brebes, kalian hanya akan melihat pematang sawah di sebelah kanan dan sepanjang aliran sungai kecoklatan di sebelah kiri. Berpuluh kilo, hingga kalian bosan sendiri memandanginya. Hanya ada satu dua kampung ditemui, itu pun rentang jaraknya lumayan jauh.
                Isya telah berkumandang, kami masih melaju hingga menghentikan kendaraan di daerah Tanjung. Persimpangan pantura dan jalur selatan. Kurang lebih tiga jam perjalanan. Cirebon, dari sini paling tidak membutuhkan satu jam lagi. Catatan ini aku tutup sampai di sini. Besok, insyaallah akan diteruskan. Perjalanan kembali dari Cirebon ke Klaten. Mudik kedua kalinya setelah tiga hari yang lalu juga mudik melewati jalan yang sama. Tentu dengan cerita berbeda. Salam pena!

                *pondok delima, 141o2o11 o9:o8

Rabu, 12 Oktober 2011

Catatan Perjalanan 2 : Wonosobo


23 Aug 11, H-5
                Beberapa bulan silam, aku pernah berjanji untuk silaturahim ke rumahnya mbak Dew di Malang. Liburan lebaran ini tampaknya waktu yang paling tepat karena libur lama selama dua minggu penuh. Sesampai rumah selepas perjalanan mudik dari Cirebon, segera kuhubungi seorang tetangga yang juga seorang kawan sekampung. Kuajak dia menemaniku dalam misi ini—bersepeda motor ke Malang. Namun, malangnya ketika aku meminta ijin Ibu. Beliau tak merestui, menolaknya tegas. Bilang aku masih capeklah, jauhlah, dan aku beringsut mundur tanpa mengutarakan alasan apapun. Hanya minta jeda beberapa hari lagi, semoga diijinkannya.
                Kebiasaanku ketika mudik dari Cirebon adalah jarang memberitahukan kedatanganku ke kampung. Yang kupamiti hanyalah seorang adik yang tinggal di sana. Kedatanganku yang tiba-tiba ini tentu menjadi sesuatu yang mengagetkan, tapi karena keseringan, ortu pun maklum adanya. Tak banyak menanyakan kenapa, seperti saat-saat pertama kalinya.
Sengaja, memang aku tak mau memberitahukan perjalanan ini tersebab tak ingin ortu khawatir juga berharap-harap. Ketika aku berkunjung ke tetangga—seperti biasanya ketika kupulang—ada yang bertanya, “Di rumah Ibumu masak apa? Apa tidak masak special untuk anaknya yang pulang? Emang, nggak ngasih tau kalo mau datang ya?” Cukuplah, sebuah anggukanku menjawab semuanya. Nah, begitulah adanya. Terkecuali kalau aku sedang di rumah, pergi main ke rumah teman yang dekat pun sering ijin. Kemanapun kuharuskan pamitan kepada Ibu, apalagi akan pergi perjalanan jauh.
                Akhirnya, aku pun terpaksa menundanya beberapa hari lagi. Berhubung liburan barulah dimulai, kualihkan rencana ini ke Wonosobo, kopdar ke rumahnya mbak Nessa. Kuhubungi lagi Ikah (dia lelaki, biar nggak salah paham mengenai namanya, red)mengajaknya ke sana. Ia menyetujui, akan berangkat jam berapa, tanyanya. Sehabis sahur, kataku. Nanggung, lepas subuh saja, balasnya. Baiklah.
                Lepas subuh, ternyata udara perkampungan masih terasa dingin. Aku enggan beranjak mandi—apalah itu tak terpikirkan Ikah menahan gigilnya, memaksakan diri mandi dan menungguku di rumahnya—sementara yang ditunggu malah masih asyik meringkuk. Ahai, sungguh terlalu… Beruntung, Ikah adalah kawan yang baik yang tak suka ngambeg ^^
                Setengah tujuh, kutelepon. Ia bertanya, jadi tidak ke sana. Oya, aku belum mandi, demikian jawabku masih dengan nada lemas. Seperempat jam kemudian sampailah aku di rumahnya. Ia sedang sibuk memperbaiki bangku panjang. Memaku kaki-kakinya yang reyot. Tunggu, sebentar lagi ya. Setengah delapan, akhirnya kami berangkat.
                Sejujurnya, aku tak pernah ke Wonosobo sekalipun. Begitu pula dengan Ikah. Berbekal peta mudik kepunyaan adik, kami berangkat melalui Parakan—sebuah jalan penghubung Temanggung-Wonosobo. Jalanan saat itu tak terlalu ramai, namun di beberapa titik perkotaan dan pasar ada kemacetan. Dari Klaten sampai Parakan kurang lebih 2,5 jam perjalanan dengan berkendara motor.
                Untuk menuju kota Wonosobo haruslah menaiki jalan diantara dua gunung; Sindoro di sebelah barat laut kota Temanggung, sedang Sumbing di barat daya kota Temanggung. Hal yang menarik di daerah ini ialah dapat menjumpai puluhan colt dengan bak terbuka mengangkut pelepah pisang kering yang ditekuk dan disatukan dalam keranjang anyaman bambu. Ditumpuk. Menggunung. Mungkin, pelepah-pelepah kering tadi berhubungan dengan tembakau yang dihasilkan daerah ini. Sampai saat ini, aku masih penasaran tentang pelepah kering tadi. Adakah yang mau bantu menjelaskannya?
                Udara di daerah ini terhitung dingin. Meski panas sedikit menyentuh bumi, tak urung udara mampu menggigilkan tubuh. Kutangkupkan tangan mencipta kehangatan. Nafas pun sedikit-sedikit kuhembus melalui mulut. Mengakali keadaan.
                Jalanan yang dilalui menanjak, berkelok, dan curam. Jalanan khas pegunungan. Di beberapa bagian akan dijumpai hamparan ladang yang ditumbuhi tembakau. Menghijau. Berderet-deret lepas sampai ke tengah bukit. Di kaki-kaki Sindoro-Sumbing yang berdiri dengan gagahnya.
                Sepanjang perjalanan, hanya sedikit dijumpai tanaman teh, itu pun berada dipinggir jalan. Sedikit berwarna kecoklatan karena tertutup debu. Tampaknya tanaman ini masih kurang laku dan diminati petani sekitar ketimbang tembakau.
                Di perkampungan, aktivitas petani sangatlah mudah diamati. Sebagian besar telah melalui masa panennya. Tembakau yang telah selesai dirajang dan diiris halus, mereka jemur di terik matahari. Umumnya di depan rumah atau perkebunan. Lapangan dan tempat terbuka lainnya, juga dipenuhi tembakau-tembakau yang dijemur. Mereka menggunakan bambu yang dianyam datar dan kaku membentuk bidang selebar kurang lebih 1x2 m. Cara membaliknya pun cukup unik. Dua bidang anyaman bambu tadi ditangkupkan, lalu dibalik, begitu seterusnya.
                Sebelum sampai di wilayah perkotaan, turunan yang bisa dibilang curam. Sebuah papan menyita segenap perhatianku. Tertulis dengan jelas, ‘jalur evakuasi’. Di tempat kami, tulisan seperti ini menunjukkan jalur-jalur yang dianjurkan dilalui pengungsi semisal ada bencana alam seperti letusan gunung berapi. Umumnya menuju desa atau kecamatan. Tapi, di dataran tinggi seperti ini, tidaklah mungkin. Apalagi aktivitas Sindoro-Sumbing tidaklah pernah terdengar. Penasaranku ini berujung pada sebuah jalan bercabang di sebelah kiri jalan. Menanjak, lebar, berpasir berundak, dan buntu. Berpasir dan buntu?! Ikah tertawa, ia sudah tahu jawabannya. Jalur ini ternyata berfungsi untuk kendaraan roda empat yang kehilangan kendali karena rem blong, hingga jalur itu meminimalkan kendaraan tadi tidak keblabasan ataupun masuk jurang. Sesuatu yang sekali ini kutemui, tetapi tidak di daerah lain.
                Memasuki daerah kota Wonosobo, bidang sudah datar meski beberapa bagian jalan lebih tinggi dari rumah penduduk. Pemandangan asri, pohon-pohon tinggi tertata rapi di pinggir jalan, terkesan teduh. Sesampai di jantung kota, ternyata ada masalah. Aku benar-benar tak tahu di mana alamat mbak Nessa. Beberapa kali aku mencarinya di blog. Ya, nyatanya memang aku tak pernah bertanya alamatnya. Sedang alamat yang dulu pernah ia kirim ketika menghadiahi sebuah buku di hari ulang tahunku, aku lupa mencatatnya, tertinggal di kamar kost. Akhirnya, kutemukan petunjuk. Istana Rumbia, taman bacaan milik ibunya. Paling tidak kami tak kesasar sampai ke Dieng—kami berputar lagi ke selatan setelah melihat peta. Hei, ini jalan yang salah, Bung. Balik maning!
                Rumah mbak Nessa tepatnya di daerah Pasunten, Lipursari, Leksono--sebelah selatan kota Wonosobo. Setengah jam dari sana. Di sebuah pertigaan kami sedikit ragu karena tak ada penanda jalan. Sejenak berhenti dan bertanya kepada adik-adik yang sedang asyik berjalan. Dimana..dimana..oh dimana..
                Adik-adik menjawabnya dengan detail. “Ada pos ojek di sebelah kiri, naik terus Bang, terus…terus…nah, entar tanya lagi ya.” Rupanya, adik-adik tadi tak mengatakan kalau jalannya menanjak lalu menurun. Kami sempat ragu, apalagi setelahnya jalan menurun curam. Jangan dibayangkan itu jalan aspal ataupun beton. Jalan yang harus kami lalui untuk menuju perkampungan mbak Nessa hanyalah batu kali warna hitam disusun rapi. Saling menonjol dan di beberapa bagian hilang membentuk cekungan. Kami harus ektra hati-hati menuruni jalanan curam ini. Sisi kiri tebing sedang sebelah kanannya kebun lebat—boleh dibilang jurang karena letak jalan beberapa meter di atas kebun.
                Sampai perkampung pertama, kami bertanya lagi kepada adik-adik yang sedang bermain di depan rumah. Berharap kami sudah sampai, mengingat jalanan yang kurang bersahabat. Olala, nyatanya masih jauh. Demikian keterangan dari adik-adik. Selanjutnya, memasuki perkampungan, beberapa jauh jalanan dibeton, sebagian lainnya masih berupa susunan batu kali. Lebih ke dalam, ada jalanan kecil beraspal yang terawat. Sesampai di kampung kedua, kami berhenti memastikan. Bertanya lagi kepada seorang bapak yang sedang mengecat masjid. Bertanya, dimana..dimana..oh dimana..
                Sesuai dengan petunjuk si bapak. Akhirnya, kami sampai di Istana Rumbia, rumah ibunya mbak Nessa yang seorang penulis juga; Maria Bo Niok. Oleh adiknya kemudian kami diantar ke rumahnya. Tak seberapa jauh, melewati tanjakan bebatuan dan memangkas waktu sekitar lima menit.
                Tak pernah terbayang bahwa rumahnya mbak Nessa ternyata berada di kaki bukit. Naik turun jalanan curam penuh bebatuan. Jauh dari jalan utama. Udara di perkampungan itu lebih lembab dari daerahku. Begitu dinding-dinding rumah tersentuh. Nyeess..berasa sekejap seperti memegang es. Dingin.
                Adiknya menuju ke dalam, memberitahukan kedatangan dua orang tamu. Tak lama, dari pintu muncul sosok yang kutunggu. Inilah saat bertatapan langsung dengan mbak Nessa. Kopi darat akhirnya terlaksana setelah lama perjalanan tertempuh kurang lebih 3,5 jam. Waaa..betapa bahagianya :D
                Bagaimanakah kesan pertemuan dengan mbak Nessa Kartika? Apa yang menyebabkan kami langsung menuju ke Cirebon yang berarti mudik untuk kedua kalinya? Insya allah kita bertemu lagi di catatan perjalanan yang ketiga. Salam pena!

                *pondok delima, 121o2o11 18:o5

Senin, 10 Oktober 2011

Cacatan Perjalanan : Mudik 2011

23 Aug, H-7

                Seorang tukang sate yang menjadi langgananku menanyakan perihal kepulanganku ke kampung. Aku jawab, mungkin malam ini atau entahlah—aku belum memutuskannya. Malam telah beranjak ke isya, sedang saat itu aku pun belum ada niatan mudik. Semua berjalan seperti malam berikutnya. Di kost sendiri, sepi, dan berteman mimpi.

                Kuhubungi seorang rekan, menanyakan apakah besok adakah kerjaan di pabrik. Ia menjawab kosong. Semua akan kembali masuk kerja dua minggu lagi. Aku menimbang. Tak berapa lama kuambil keputusan ini. Segera pulang!

                Tanpa persiapan maksimal, kulakukan perjalanan jauh ini. Berbekal seadanya, aku memulai dengan mengucap basmalah. Semoga perjalanan lancar.

                Cirebon, sekitar pantura, angin bertiup sangat kencang. Aku merutuk dalam hati. Bukan karena kencangnya angin, tapi celana yang kupakai sangat tipis satu lapis. Menggigil aku sepanjang perjalanan ini. Menahan gemeretak dingin yang mulai menggigiti tulang. Berhitung, berbalik pulang tidaklah mungkin, sudah terlambat.

                Yang membuat perjalanan ini sedikit menyenangkan adalah mendapatkan teman seperjalanan.
Ada lima motor yang kini melaju di depanku. Mengular. Seperti saling paham, dari mereka tak ada yang saling salip. Semua berada di posisi semula. Berjalan beriringan satu-satu. Teratur. Motor paling depan adalah pemimpinnya. Pengatur laju juga petunjuk arah.

Tak jauh dari perbatasan di Brebes, mereka berhenti beristirahat. Seorang yang lain tetap melaju. Sebab perjalanan ini barulah satu jam, aku memutuskan tetap melaju meninggalkan rombongan tadi. Mereka memandangi kami sebagai isyarat salam perpisahan.

Nyatanya, H-7 masihlah sangat sepi. Di belakang lajuku hanya ada sebuah sepeda motor yang mengikutiku. Di depan, tak nampak sepeda motor yang melakukan perjalanan mudik. Untuk menyingkat waktu, kutambah laju dan meninggalkan seorang yang mengikutiku tadi.

Kembali dingin kurasakan. Jika begini aku hanya bisa memaki diri sendiri. Menyalahkan kecerdasan yang terlambat datang. Berapa aku melakukan perjalanan jauh ini? Hampir lima belas kali—dan dulu setiap dua bulan pastilah pulang. Bukankah setiap mudik pasti kedinginan? Apalagi waktu merembet semakin puncak. Pukul dua belas malam sesudahnya adalah masa kritis. Belum lagi hembusan angin laut yang bahkan jaket tebal pun mampu ditembusnya.

Laju kendaraan kini semakin melambat tertahan dingin. Sulit rasanya mengemudikan kendaraan dalam keadaan menggigil. Konsentrasi pastilah buyar. Pegangan setang pun semakin kaku. Berapa kendaraan motor mendahuluiku. Demi mengurangi kesakitan ini aku melaju di belakangnya.

Sampai di sebuah perempatan lampu merah di kota Tegal. Seorang pengemudi menyapa ramah ke arahku. Umurannya sekitar empat puluh tahunan. Sendiri, membawa perbekalan yang tak seberapa. Ia menanyakan tujuanku samakah dengannya, Semarang. Aku mengangguk meski nanti kami bisa saja berpisah di persimpangan Weleri, Kendal. Hal yang kusayangkan dari pengemudi tadi adalah satu. Ia tidak memakai sepatu, hanya sandal gunung tanpa kaos kaki. Terbayangkan, jika calana tipis saja begini gigilnya apalagi tanpa penutup sama sekali. Nampaknya, pengemudi ini baru sekali melakukan perjalanan jauh atau memang seperti aku—yang mengabaikan persiapan.

Perjalanan berikutnya kendaran mulai melambat, seperti kehabisan daya. Tentu bagi mereka bisa saja factor itu kelelahan karena melakukannya sedari siang tadi dari ibukota. Terpaksa aku meninggalkannya dan melaju, sedang pengemudi yang bertanya di lampu merah tadi masih mengikutiku.

Rupanya, tak hanya aku yang salah kostum. Beberapa kali di jalan, kutemui pengendara yang mengabaikan persiapan. Mereka memakai sweater tebal tetapi bawahan celana pendek. Semisal ia akan mendatangi mall atau konser saja. Padahal ini perjalanan jauh. Jika sudah selarut ini, perjalanan mereka tak ubahnya merambat bagai keong. Kaki-kaki diangkat dan disatukan. Kadang aku merasa kasihan. Sudah capek, dingin, tentulah punggung dan tangan mereka pegal sedemikian rupa.

Pengemudi di lampu merah terus mengikuti di belakangku. Kutambah laju seperti biasanya, mendekati ambang kecepatan maksimal meski dingin menggerus udara. Kadang, pengemudi itu tertinggal jauh. Bukan karena ia tak mampu mengejar, ini tersebab karena dingin yang membekukan kakinya hingga ia tak kuasa memacunya lebih kencang. Sesekali aku melambatkan laju, menunggunya. Namun, ketika sampai jalan mendekati terminal Pemalang, aku kehilangan jejaknya. Perjalanan kutempuh sendiri lagi.

Perjalanan panjang ini tentulah membosankan. Apalagi ketika melewati alas Roban. Kanan kiri gelap, berjejer ratusan jati yang rapat membungkus malam. Tak ada kehidupan perkampungan. Kadang mengharuskan aku untuk menghitung, berapa lama lagi akan tiba di tempat peristirahatan, di SPBU dekat perbatasan Batang-Kendal.

Setelah hampir satu jam menembus alas Roban, tibalah saatnya aku beristirahat di tempat ini. SPBU yang lapang, parkirannya luas, dan disediakan tempat peristirahatan untuk mereka yang melakukan perjalanan jauh. Beberapa tukang pijat tampak kelelahan dan tertidur, sedang penjaja makanan tak begitu antusias berkeliling.
Sebagaimana melintasi sebuah kota, terkadang menyelinap ingatan kenangan tentang seseorang. Aku mulai menjelajahi dunia maya dan mengirimkan sebuah pesan kepadanya. Aku ingin mampir sejenak ke rumahnya, untuk janji kecil beberapa bulan silam.

Mata berat, saatnya istirahat.

***

Subuh, aku terbangun. Meski badan masihlah lemas karena hanya sekitar tiga jam tidur, kupaksa juga melanjutkan perjalanan usai sembahyang.

Kubuka pesan inbok di fb, tak ada balasan. Mungkin masih terlalu pagi. Jika jadi, perjalanan dari Weleri ke Wonosobo pun bisa dipastikan sekitar 2-3 jam, masih ada waktu.

Namanya, mbak Nessa. Aku mengenalnya lewat dunia maya sekitar setahun yang lalu saat sedang minat dan berburu lomba menulis di fb. Saat itu ia tengah berada di Singapura, bekerja sebagai BMI. Ia pernah mengabarkan kepulangannya sekitar Juli tahun ini. Mungkin ada beberapa hal yang menunda hingga bulan Agustus barulah tiba di tanah air. Sesuai janji kecilku dulu, aku ingin menemuinya di Wonosobo, kopi darat istilah kerennya.

Namun, sesampai Temanggung pun belum ada balasan. Aku khawatir ia sedang tidak ada di rumah jika acara kopdar dadakan ini. Perjalanan berlanjut ke Magelang.

Aku masih ingat, beberapa bulan lalu ketika melewati sebuah jalan di Muntilan, Magelang. Jalanan yang dipenuhi jutaan kubik pasir akibat letusan merapi kemarin lusanya. Bangunan kios ambruk tersapu lahar dingin, sedang yang masih berdiri, ruangannya dipenuhi pasir sempai sebatas internitnya. Seperti lautan, yang tersisa hanyalah pohon kelapa yang masih bertahan dari arusnya. Alat berat exvakator atau lidah jawa menyebutnya ‘bego’ dioperasikan untuk memindahkan pasir yang menutupi badan jalan. Batu sebesar kerbau, disisihkan di tepi jalan. Pemandangan yang menakjubkan sekaligus memprihatinkan. Puluhan orang berlomba mengangkut pasir untuk bahan bangunan atau dijual. Sedang beberapa pemuda-pemudi malam menjadikannya tempat rekreasi.

Jalan Magelang di Jogja. Entah kenapa, setiap melewati daerah tertentu, mampu memunculkan sosok-sosok yang bahkan aku tak mengenalnya langsung namun akrab. Begitu pula di kota Gudeg ini. Ingat kawan mayaku yang suka menulis. Ingat pula rekan kerjaku di perantauan. Seandainya suatu saat bisa sejenak mampir ke rumahnya.

Akhirnya, aku sampai di kampung sewaktu dhuha. Perjalanan yang tertempuh kurang lebih delapan jam lamanya ditambah masa istirahat. Sungguh melelahkan.

Tampaknya, catatan perjalanan ini belum selesai. Masih banyak cerita. Kopdar dengan mbak Nessa Kartika lusa harinya, lalu langsung menuju ke Cirebon. Esoknya mudik (lagi) ke Klaten. Dan seminggu kemudian berangkat ke Malang kopdaran dengan mbak Dew Faricha Hasan. Semoga aku bisa menuntaskan cerita ini. Sampai jumpa di catatan perjalanan ke dua.

*pondok delima, 1o1o2o11 o7:36