Senin, 13 Juni 2011

Ruang Rindu

                …menghirup rindu yang sesakkan dada..


                Tiba-tiba rasa itu tertawa, lalu menyebar ke dada. Perlahan menyerang sendi-sendi, lalu menghujani jalinan memori. Menguasai layar dengan bayang yang samar. Kacau. Hatiku kini diliputi galau.

Satu persatu slide ingatan itu berputar bagai potongan film dokumentar. Tawa, canda, kesal, acuh; semua tergambar jelas. Saling berganti. Silih mengisi.

                Kuhirup nafas dalam-dalam. Sekali lagi. Sungguh, rasa itu memang menyesakkan dada. Rasanya menyenangkan tetapi menyiksa. Hangat tetapi menggelisahkan. Entah, aku tak bisa menahannya jauh lebih lama. Membiarkannya saja, terus merasuk ke dada, hingga semakin sesak.

                ..terasa hangat, oh di dalam hati..


                Sekejap, rasa itu menghadirkan sebentuk bilur senyuman. Menyuburkan rasa, menumbuhkan bunga, lalu bermekaran mahkota di ujungnya, dan di atasnya, ada langit yang melukis lengkung pelangi. Sungguh berseri.

                ..kupegang erat dan kuhalangi waktu. Tak urung jua, kulihatnya pergi..

                Sesaat, rasa itu berubah selaksa pagi, menjelang siang. Ketika embun di lekukan bunga telah hilang terangkat oleh pendar mentari. Hangat yang kemudian menyengat. Kandas. Menggelisahkan. Sungguh meresahkan.

                ..kau datang dan pergi, oh begitu saja. Semua kuterima, apa adanya..


                Aku tak bisa menahannya di satu sisi. Aku tak kuasa melawannya di satu hati. Karena ia sebuah anugrah. Kata orang, rindu itu siksaan yang menyenangkan. Benarkah demikian? Aku hanya terpaku ditikami ujung rindu yang sembilu.

                ..mata terpejam dan hati menggumam. Di ruang rindu, kita bertemu..




                *diadaptasi dari Ruang Rindu-nya Letto

-Pondok Delima-, Juni 2011

Sabtu, 11 Juni 2011

Sebenarnya Cinta?

Satu detik lalu, dua hati terbang tinggi.



Aku tersenyum menatap layar komputer. Jari-jariku terampil menekan tuts keyboard, lalu kutekan enter.



Klik!



Deretan kata muncul tepat dibawah statusnya. Tak lama kemudian muncul sederetan kata darinya. Sembari tersenyum, aku mulai mengetik beberapa kata lagi. Tak lupa kuselipkan icon smile di akhir kalimat.



Klik!



Ia membalasnya, juga dengan icon smile di akhir kalimat. Senyumku semakin lebar. Ah, rasanya saat ini hatiku sedang bahagia.



Dan bawa ku ke sana; dunia fatamorgana. Termanja-manja oleh rasa dan kuterbawa terbang tinggi oleh suasana.



Sederet kata telah rampung kutulis. Namun, entah kenapa kutekan tombol delete. Rasa-rasanya ada beberapa kata yang kurang pas. Lalu tangan kananku menggerakkan mouse ke atas ke bawah. Kupicingkan mata, membaca lagi barisan komentar. Kutulis beberapa kata lagi sambil tersenyum, masih tak lupa icon smile, kali ini lebar :D



Klik!



Tak lama kemudian ada balasan darinya. Ada icon smile darinya, sembari mengedipkan mata ;)



Aku menyandarkan diri pada tembok bisu. Membayangkan dirinya, membayangkan wajahnya. Aha, mungkin saat ini ia juga sedang tersenyum sembari mengetik kata-kata itu di komentar. Aku menggeleng, senyuman ini masih belum surut.



Dari sudut mata, jantung hati mulai terjaga. Berbisik di telinga, coba ingat semua.



Jantungku berdetak lebih kencang. Desiran darah semakin bersiterap. Kucoba mengingat beberapa memori tentangnya. Saat pertama kali berjumpa di dunia maya. Saling sapa, sekedar bertanya kabar, lalu membangun canda dan tawa. Ah, terasa begitu indah. Tapi, dia hanya seorang teman. Ya, hanya teman kan? Tak lebih bukan?



Dan bangunkanlah aku, dari mimpi-mimpiku..



Mungkin hanya teman saja, tapi hatiku sepertinya mengingkari. Seperti ada rasa yang tak biasa kepadanya. Mungkinkah itu…? Pastikah dia merasakah hal yang sama juga? Rasa berbunga. Degup dada tak berirama. Atau..?



Terengah-engah ku berlari, dari rasa yang harus kubatasi.



Kotak itu masih kosong. Aku belum membalas komentar terakhir darinya. Pikiranku masih melayang tentangnya. Entah kenapa aku menjadi bimbang. Risau. Mungkinkah aku telah jatuh cinta? Atau setidaknya suka kepadanya? Seseorang, hanya dari kata-kata yang sering dia update di status dan catatannya. Dari profil, mungkin juga beberapa fotonya. Juga dari komentar yang kadang singgah di dinding atau statusku. Samakah? Dia merasakan seperti apa yang tengah kurasakan?



Beberapa kata akhirnya kutulis. Masih sama. Ada canda, juga tawa. Namun, hanya canda dan tawa kepada seorang teman maya, tak lebih. Kutekan lagi tombol enter.



Klik!



Agak lama kutunggu balasan darinya. Sembari kutebak rasa yang mungkin hadir di hatinya saat ini. Kemudian sederet kata muncul. Kubaca. Kumaknai dan kurasai. Ya, sepertinya tak salah..



Dan kau menawarkan, rasa cinta dalam hati?



Namun aku merasa bimbang. Bagaimana kalau semua perkiraanku salah. Bagaimana jika ia rasa itu hanya sebatas teman saja. Bukankah seharusnya memang begitu?



Ku tak tahu harus bagaimana untuk raba mimpi atau nyata, dan bedakan rasa, dan suasana dalam rangka sayang atau cinta yang sebenarnya.



Aku memejam. Melepas semua bayangan tentangnya. Mengurai memori-memori yang telah lalu. Kuhirup nafas dalam, bersamaan itu pula kukeluarkan semua perasaan yang masih tertahan. Tetap saja tak bisa. Bayangan-bayangan itu sepertinya terus mengikuti jejak ingatanku.



Sesak aku di sudut maya dan tersingkir dari dunia nyata.



Aku tak tahu lagi. Kadang rasa suka atau bisa jadi cinta, hadir lewat dunia maya. Kadang surut kadang redup. Kadang membayang dan terus saja terkenang. Ah.. ku klik pojok kanan atas. keluar dari akun facebook. Sementara waktu, aku ingin fokus di dunia nyata. Menjalin impian-impian itu, meski kerap bayangan mayanya hadir mengusik ke kehidupan nyata.



Melupakannya! Ah, tidak. Aku hanya sedang tak ingin mengingatnya.



Jangan pernah lepaskan aku, untuk tenggelam di dalam mimpiku.





*terinspirasi dari lagunya Letto, ‘Sebenarnya Cinta.’



-Pondok Delima, Juni 2011-

Rabu, 08 Juni 2011

Catatan Ringan : Mata Belati


Pagi tadi mata belati itu kembali menguasai mataku. Tepat ketika aku tengah berbincang dengan seseorang yang baru kukenal. Tak lama memang, tetapi cukup menusuk dan melumpuhkan jiwanya. Ah, ia jadi bercucuran keringat meski hari masih pagi. Padahal kami berada di ruangan yang berkipas angin. Duduknya pun terlihat gusar. Ia hanya sekali dua kali memandang wajahku, hanya sekelebat saja berani beradu mata denganku. Bicaranya pun terlihat mengendur. Ya, sejak mata belati itu muncul. Ia pun terlihat lemah kala bicaranya kupotong di tengah jalan. Saat itu aku tahu, mata belatiku telah menancap deras di jiwanya dan melumpuhkannya.

Awalnya kami hanya berbincang, tetapi beberapa menit kemudian lebih menjurus ke perdebatan. Ia merasa pendapatnya benar, begitu juga denganku. Pendapat kami sama kuatnya. Tentu itu menurut kami masing-masing. Karena bisa jadi perdebatan itu tiada ujung, maka aku pun membiarkan mata belati itu muncul. Mengarah ke matanya, lalu menikam jiwanya.

Beruntung, seorang kawan mencairkan suasana. Ia menjadi penengah dan menghilangkan mata belati itu.

***

Desember 2010

Suatu pagi, aku mendapati beberapa rupiah uang titipan dari seseorang raib dari kamarku, setelah malamnya kutinggalkan dan menginap di tempat saudara. Inilah kehilangan untuk kedua kalinya selama sebulan itu. Tentu, siapa yang mengambil masih samar karena tak ada bukti kuat.

Menurut cerita dari rekan dekat, seseorang yang telah mengambil uang itu tak lain adalah rekan kerja sendiri. Ia menjadi domba kala berkumpul dengan kami, dan muncul taringnya bak serigala ketika mendapati kesempatan untuk memangsa. Musuh dalam selimut!

Aku pun meminta seseorang untuk bertindak sebagai penyelidik. Aku mengetahui, ia mempunyai kemampuan untuk memunculkan mata belati itu.
Tahukah, ketika mata belati itu dipasang dan memandang ketika berbincang. Lawan berbincang yang tak lain adalah rekan yang dicurigai itu, bicaranya jadi mencercau tak jelas. Bahkan ia mengalihkan perhatian ketika pertanyaan yang mengenai uang hilang itu dikemukakan. Ia pun tak berani memandang tegak menatap wajah, apalagi mata.

Kami tahu, untuk mengetahui seseorang berbohong atau tidak cukup dengan memandang matanya. Bila ia balik menatap, lalu berbicara tanpa melepas pandangan matanya, berarti kemungkinan besar ia jujur. Begitu juga sebaliknya, orang yang berbohong tidak berani menatap mata lawan bicaranya. Tentu, ini tidak berlaku bila orang tadi bisa menguasai emosinya.

***

Januari 2009

Awal tahun 2009 adalah hari yang muram bagiku. Pagi itu di kantor, Bos marah besar. Segalanya kesalahan dan ketidakpecusan kerja ditumpahkan kepadaku, hingga aku tak bisa berkutik sama sekali. Aku hanya bisa mendengar semua amarahnya, tak mampu menyahut kecuali dengan beberapa kata saja, ‘ya, mengerti, atau baik.’

Mulanya aku hanya menunduk, ibarat kucing yang takut dipukul tuannya. Tetapi, lama kelamaan aku berpikir tidak bisa seperti ini. Hampir seperempat jam amarah itu belum reda. Sesekali kudongakkan wajah, lalu kuberanikan menatap wajahnya, lalu matanya. Ya, mata belati itu muncul di mataku. Menguasai jiwaku. Amarahnya, di mata belatiku seketika itu terlihat semakin mengecil.

Aku tahu, mata belati tadi menyimpan sesuatu kekuatan yang membuat Bos seperti mengerti di balik tatapan mata belati itu.

***

April 2009

Kata orang, bila kamu menempati daerah baru, kamu harus tegas. Jangan terlalu lunak yang membuat kamu bisa disepelekannya!

Ia menggembor-gemborkan tentang dirinya, kenalannya, dsb. Sebagai pendatang, tentu aku dipandangnya sebelah mata. Sedang aku, tak ambil peduli dengan itu semua. Aku tetap menghormatinya sebagai seseorang yang sudah lama berdiam di tempat ini. Bagiku, selama ia tak ‘mengganggu’, itu tak menjadi masalah.

Beberapa saat setelahnya, aku menjumpainya lagi. Ia mengatakan sesuatu dengan menyebut ‘hak’nya. Meminta sesuatu secara halus kepadaku. Aku menolak disertai beberapa argument yang menjelaskan bahwa itu bukan termasuk ‘hak’nya. Kami pun berdebat. Seru. Lalu mata belati itu kembali muncul. Menembus matanya. Tak lama kemudian, ia undur diri tanpa memperolah ‘hak’nya.

Setelah perdebatan itu, kami bertemu lagi. Sikapnya lain dari sebelumnya. Ia nampak segan. Bicaranya menjadi lembut dan menunjukkan rasa hormat.

***

Ah, aku lebih suka menyebutnya dengan kiasan ‘mata belati’. Menatap tajam mata lawan bicara, tanpa melepaskannya sedetik pun sebelum ia mengalihkan pandangannya. Biasanya aku menggunakannya ketika berdebat, dimarahi, atau untuk mengetahui seseorang berbohong atau tidak. Tentu semua berlandasan, jika aku berpijak kebenaran.

Ketika mata belati itu muncul, seluruh emosiku hilang. Aku menjadi pribadi yang kaku, tegas, kuat, dan serius. Wajahku tanpa ekpresi. Tak bisa tersenyum, bercanda, apalagi tertawa. Bicaraku pun lebih agresif.

Dengan mata belati itu aku pun tahu, seberapa kekuatan mental seseorang.

Sabtu, 04 Juni 2011

Kopdar : Pondok Hati In The Rama You.


Saya baru ngeh minggu ini, ternyata In The Rama You dibaca Indramayu- saya kira itu adalah sebuah tempat bernama Rama You. Kurang lebih, dua minggu kemarin saya menyempatkan diri ke sana, ke Taman Bacaan Pondok Hati, di Indramayu- rumah Mas Ibnu. Ini adalah kedatangan saya yang kedua setelah kopdar pertama pada Februari kemarin.

Pertemuan kedua ini saya sengaja membawa banyak buku. Tentu buku tadi akan saya tukar dengan buku juga. Simbiosis mutualisme. Jadi, tetap bisa membaca buku meski budget sedang garing. Hehe..

Hari itu saya datang terlambat, seusai magrib. Suasana rumah Mas Ibnu sepi dan gelap. Sayup terdengar anak-anak mengaji tak jauh dari rumahnya. Saya menunggu, barangkali Mas Ibnu ada perlu. Saya coba menghubunginya lewat sms, tiada berbalas. Saya coba telepon, tapi nggak diangkat. Mungkin salah saya, datang bertamu kala malam siap menjelang. Saya hampir keliling sejenak mencari makan, seandainya saja saat itu tak melihat bapaknya Mas Ibnu berada di ruang depan.

Harapan tumbuh. Niat mau makan kutunda sementara. Dari dalam Mas Ibnu datang dengan senyum manisnya (ehem). Menyambut dan mempersilakan saya berkunjung ke Pondok Hati-nya. Cihui! Dulu, pertama saya berkunjung ke rumahnya Mas Ibnu, saya sempat bertanya dalam hati, “Lha, taman bacaannya mana ya?” Namun, melihat deretan buku di rak ruang tamu, saya baru mengerti bahwa Pondok Hati ya ruangan ini. Multi fungsi; ruang tamu sekaligus taman bacaan.

“Mas Aw, makan dulu ya? Belum makan kan?”

Dengan malu-malu gaya kucing kujawab, “Meong!” eh nggak ding, “Udah, Mas.” (maksudnya, udah Mas Ibnu. Nggak perlu repot-repot dengan tamu yang satu ini..hihi: ))

“Ayolah! Nasi kuningnya masih banyak. Saya ambilin ya.”

Meski berkali saya sudah memberikan penolakan, toh akhirnya Mas Ibnu datang dengan dua piring di tangannya. Mau tak mau, saya tak mau menolak rejeki ini, apalagi perut saya sudah berontak sedari tadi. Hihi..

Sambil makan, kami sesekali membicarakan tentang proyek kumcer yang sedang kami garap. Terkadang kami bercerita tentang aktivitas yang kami jalani sekarang ini; bagaimana pekerjaan saya juga kuliahnya Mas Ibnu. Kami juga bertukar cerita bagaimana awalnya kami bertemu secara maya dengan dua rekan lain yang ikut proyek tersebut (sstt, hanya sekilas lho:)

Nasi di piringku telah ludes. Mas Ibnu menawari lagi namun saya tolak dengan halus.

Saatnya misi simbiosis mutualisme dijalankan. Saya keluarkan buku-buku andalan saya. Wow, ternyata banyak juga ya, pantesan bawanya tadi lumayan berat. Hehe.. Mas Ibnu pun tak mau kalah, langsung menunjuk deretan buku di rak. Kontan, aku takjub. Ternyata jumlah bukuku tak ada apa-apanya dibanding Pondok Hati.

Mas Ibnu pun menawari buku mana yang ingin saya bawa pulang. Akhirnya, ia memilih Katastrofa Cinta-nya Afifah Afra. Kata Mas Ibnu ceritanya bagus. Plot-nya lintas jaman. Dan setelah membaca, memang benar bagus meski pada awalnya sedikit agak bingung.

Akhirnya, lima buah buku saya bawa pulang setelah kurang lebih tiga jam mengobrol. Baru saja saya pamit dan selesai memakai sepatu, obrolan tersambung kembali di beranda rumah. Meski adik saya sms berkali-kali, “Kapan baline, Mas!” Kujawab singkat saja tanpa kejelasan, ”Delet engkas yo.”

Ternyata, satu setengah jam kemudian obrolan kami baru berakhir. Jam setengah sebelas malam. Semakin larut. Sebenarnya, obrolan kami belumlah tuntas. Saya pun berharap bisa disambung lain waktu.

Akhir cerita, saya tiba di mess dengan selamat.

Sebenarnya, mess saya dengan Pondok Hati terbilang dekat. Cukup satu jam dengan berkendara sepeda motor. Entah, mungkin karena intensitas kami lebih banyak di dunia maya. Hingga mendatangi Pondok Hati dua bulan sekalipun tak jadi masalah (meski saya kangen, pingin pinjem bukunya lagi).

Suatu hari, saya pun ingin mendirikan taman bacaan di kampung kelahiran semisal Pondok Hati-nya Mas Ibnu. Harapan saya, tentu menumbuhkan minat baca, terutama kalangan pelajar agar mereka cinta membaca dan menjadikannya sebuah kebutuhan. Kebutuhan akan ilmu yang terkadang tak didapat dari sekolah atau lingkungan tempat tinggal.


Team Our In The Rama You, Juni 2011

Review : Katastrofa Cinta.


                “Cempaka!”
                Ia tak menoleh. Perempuan ayu keturunan cina itu tetap asyik dengan kecrek di tangannya. Mengamen di perempatan lampu merah bersama Jepri- anak kecil usia belasan yang kukenal ketika menemani Daud mengajar membaca dan menulis kepada anak-anak yang putus sekolah.
                “Cempakaaa..!”
                Ia tetap tak menoleh.
Tenggorokanku sudah terlampau serak untuk berteriak lagi, akibat hawa panas dalam bus, siang ini. Rasanya tak sabaran aku ingin bertemu dengan Cempaka, setelah setahun ini ia menghilang.
“Cempakaaaa…!!” Aku hanya bisa berteriak dalam hati.
                Aku melangkah turun. Baru beberapa langkah berjalan, lampu berganti menyala hijau. Sosok perempuan muda dan anak belasan tahun tadi hilang tersamar lalu lalang kendaraan dan kepulan asap. Sial! Aku hanya bisa memaki sembari menerobos kendaraan yang mulai merayap.
                Aku berlari menuju tempat di mana tadi mereka kulihat. Jalanan di kota ini ramai hingga aku tak mudah menemukan sosok keduanya di sela orang-orang yang berjalan lalu lalang. Sesekali kuseka keringat yang mengucur di dahiku. Kemejaku, sengaja kutanggalkan kancingnya agar bisa diangin-anginkan. Telapak tangan, kuangkat di atas dahi untuk menghalau silau sinar matahari. Lamat-lamat kulihat sosok mereka berbelok ke kanan, ke sebuah gang, mungkin.
                Sengaja aku sedikit berlari agar tak kehilangan jejaknya lagi. Tetapi, ketika sampai di ujung gang tadi, mataku terpana. Apakah selama ini Cempaka tinggal di sini?
                Aku berjalan pelan sambil melirik kanan-kiri. Berharap menemukan Cempaka dan Jepri sedang rehat di salah satu bangunan.
                Ah, sebenarnya itu tidak bisa dikatakan bangunan. Lihat saja, atapnya rata-rata terbuat dari seng. Itu pun banyak yang berlubang, hingga dapat kupastikan, sinar matahari dan cucuran hujan mampu menebus ke dalam. Dindingnya pun terbuat dari kardus yang dilapisi plastik. Sekedar menahan tempias air hujan dan tamparan angin. Bahkan tanah yang mereka dirikan bangunan itu adalah milik pemerintah! Suatu hari, mereka mau tak mau, bisa kena gusur.
                Setelah setengah jam aku berjalan mengelilingi pemukiman kumuh ini. Hampir saja aku menyerah dan meneruskan perjalanan lagi ke Tirtonadi kalau saja tak kulihat sosok itu.
                Kukembangkan senyum. Segera aku berlari menuju sebuah gubuk (sebut saja itu gubuk daripada bangunan). Pintunya tertutup, tetapi dari celahnya aku bisa menyaksikan apa yang terjadi di dalam. Ada tiga sosok yang tengah berbincang. Cempaka, Jepri, dan .. siapa sosok perempuan renta itu. Ingatanku kuputar kembali, tapi tak satu pun sosok itu sekilas muncul. Kuberanikan mengetuk pintu.
                “Assalamu’alaykum.”
                “Wa’alaykum salam,” sahut seseorang dari dalam.
                Kudapati Jepri yang membuka pintu. Wajahnya yang gelap, terlihat lelah tetapi tetap bersemangat.
                “Oh, Mas Aw. Hmm, mau mencari siapa, Mas?”
                “Mbak Cantik ada?” kataku setengah berbisik. Tentu tadi aku menguping dari pembicaraan mereka, bahwa yang disebut Mbak Cantik itu tak lain adalah Cempaka.
                “Oya, silakan masuk.”
                Beberapa langkah aku masuk, Cempaka menoleh dan tiba-tiba saja dia berteriak kalut.
                “Pergi kau iblis. Pergi..!! Kau pembunuh. Kaulah yang menyebabkan semua ini.”
                “Cempaka, aku Aw! Bukan lelaki itu!”
                “Tidak! Kaulah iblis yang membuat aku kehilangan Ayah dan Ibuku. Kaulah yang menghancurkan masa depanku! Pergiii…!!!”
                Cempaka menjambak rambutnya. Matanya terpejam seolah menahan kesakitan yang luar biasa karena bayangan masa lalunya hadir lalu menerkam lukanya. Perempuan renta di sampingnya segera memeluknya. Namun, tak lama kemudian tubuh Cempaka terkulai. Pingsan.
                ***
                Sejam lalu aku telah membawa Cempaka ke rumah sakit. Keadaannya perlahan membaik. Tapi aku masih penasaran dengan perempuan renta yang telah menolong Cempaka selama ini. Kudatangi lagi gubuknya di pemukiman kumuh itu.
                Ia membuka pintu, namun ketika mempersilakanku untuk duduk. Kulihat langkahnya agak terseret. Baru kuketahui setelahnya, bahwa tubuhnya sebenarnya telah mati separo. Wajahnya rusak, seperti tersayat sesuatu,sedang beberapa bagian tubuhnya tidak dapat difungsikan lagi. Ia bercerita. Ia lebih suka menyebut dirinya dengan Perempuan Setengah Kayu. Tetapi tetangga sekitarnya lebih sering memanggilnya dengan Mbah Murong, karena ia dulu berasal dari dusun Murong.
                Sebenarnya, Mbah Murong adalah sosok yang jelita, setidaknya sebelum kecelakaan itu- yang mengubah fisik juga jalan hidupnya. Siapa sangka, masa lalunya begitu kelam.
                Aku mendengus. Cerita Mbah Murong benar menyedihkan. Aku pun bergidik membayangkan masa lalu itu, terlalu tragis.
                Mbah Murong ingin menangis, tetapi tak bisa karena kelenjar air matanya telah rusak. Kemudian ia berdiri, tertatih menyeret kakinya yang mati serupa kayu. Perempuan renta itu kemudian mengambil sebuah buku yang sampulnya berdebu di atas meja tak jauh dari tempat duduknya. Diulurkannya kepadaku.
                “Apa ini, Mbah. Katastrofa Cinta karya Afifah Afra?”
                “Ya. Kalau kau ingin tahu perjalanan hidupku, juga Cempaka. Bacalah buku ini.”
                Aku terdiam. Kutatap sampulnya berwarna merah menyala. Seraut wajah perempuan dan bangunan yang terbakar. Lalu satu persatu kubalik lembaran buku tadi. Plotnya tidak biasa. Melompat-lompat dari jaman sebelum kemerdekaan ke jaman reformasi. Begitu pula sebaliknya.
                “Mbah, bolehkan ini kubawa pulang?”
                Ia mengangguk juga tersenyum. Namun senyumnya mirip serigai. Aku pun tak berani berlama-lama menatapnya. Aku pun pamit. Entah kenapa setelah kubuka pintu gubuk tadi terlihat cahaya yang sangat menyilaukan mata.
                Waaaa… rupanya aku bangun kesiangan. Sudah jam setengah delapan!