Adzan magrib telah berkumandang sayup-sayup dari speaker masjid kampung seberang-menandakan waktu berbuka puasa tiba. Sore meremang, langit mulai buram, matahari pun telah tenggelam di peraduan. Kelelawar berkelepak bersiap menyambut datangnya malam. Sempurna hari.
Jalanan Cirebon-Bandung tak terlalu ramai. Beberapa kendaraan melintas cepat. Sekelebat, diantaranya seperti sedang terburu-buru. Mengejar sesuatu. Pemandangan umum menjelang berbuka. Saya yang biasanya ‘panas’, tak berminat ikut-ikutan. Kalem, meski saat itu telat berbuka.
Sesekali saya melirik jajanan yang tergantung di sayap motor, masih ada. Saya takut kresek yang di dalamnya ada sebotol sirup, tak kuat menopangnya. Jadinya, sembari melambatkan laju, mata saya sesekali melirik ke bawah (sebenarnya, alasan ini yang paling kuat saya tak mau ngebut).
Sesampai mess, suasana sepi. Di luar hanya ada seorang kawan (non muslim) yang sedang asyik menelepon (setahu saya ia orangnya romantis, pasti itu kepada istrinya), tertawa renyah (gagang telepon masih menempel di telinganya), dan tersenyum melambai ketika melihat kedatangan saya. Tampaknya, kawan saya ini empatinya besar. Menanyakan, sudahkah waktu berbuka tiba (dia bilangnya, sudahkah bedug). Saya pun tertawa, menyambut dengan ramah, menawarinya es batu dan sirup yang barusan dibeli. Ia balas mengangguk, tersenyum lagi.
“Wah, sepertinya segar tuh?” ucapnya antutias, tatapannya tertuju warna merah di gelas saya yang terapung bongkahan esnya.
“Mari Mas, berbuka. Masih banyak kok esnya. Ada sirup, susu…” Saya malah menawari beberapa jajanan yang barusan dibeli. Lalu menyeruput kembali sirup dengan bongkahan es yang mengapung di permukaannya. Rasanya, betapa segar tenggorokan tersiram es sirup setelah seharian kering dahaga.
Ia tertawa. Mengucap terima kasih.
Saya menunjuk sebuah gelas belimbing, “Maaf, adanya gelasnya kecil.”
“Oh, di dalam ada kok. Oya, sebentar…” lanjutnya.
Ia berjalan ke kamarnya yang bersebelahan dua ruang, sepertinya mengambil sesuatu-barangkali gelas. Beberapa saat kemudian ia mengagetkan saya dengan membawa sesuatu di tangannya yang terbuka. Benda itu terlihat asing. Semacam buah, berwarna coklat muda, sebesar belimbing wuluh, dan beberapa butir berantai di tangkainya. Saya ragu menebaknya. “Ini apa, Mas?”
“Ambil aja.” Ia menyodorkan tangannya yang terbuka.
Tangan saya terulur, ingin memetik sebuah.
“Udah, ambil saja semuanya. Nggak apa-apa. Ini kurma.” Gigi putih cemerlangnya terlihat.
“Oh?!” Saya malu-malu menerima pemberian itu, dua tangkai kurma (saya baru tahu kalau kurma itu bentuk aslinya begini tanpa dipetik). Setelah itu kami bersama-sama, asyik menikmati seruput es sirup. Sejenak saya teringat sebuah perkataan yang sering terlupakan.
“MEMBERI ADALAH MENDAPATKAN LEBIH.”
Pondok Delima (asyik, sambil nyemil kurma), awal 11 Ramadhan